Cari Blog Ini

Senin, 07 Februari 2011

MENGHITUNG PEMBERIAN

“Anda beruntung, punya seorang ibu yang pandai memegang amanah. Ibuku? Berapa saja uang yang saya kirimkan, selalu habis! Iya kalau dimanfaatkan untuk beli sesuatu yang bisa dilihat, mungkin aku tidak begitu keberatan. Masalahnya, duit itu dibagi-bagikan sama anak-anaknya yang menurut saya cukup mampu. Kalau saya pulang, membawa sesuatu, dan saya simpan di almari, tahun depannya, ketika saya pulang lagi, barang-barang simpanan saya pasti sudah ludes! Alasannya, ibu tidak tahu, lupa, macam-macamlah alasannya, kemana barang-barang tersebut?”

“Padahal saya sudah susah payah mencari penghasilan di luar negeri. Jadi sekarang aku malas kalau beli sesuatu dan disimpan di rumah. Jangankan barang-barang elektronik. Pakaian pun, maksud saya, setiap saya pulang biar nggak harus beli dan beli lagi pakaian di Indonesia, juga ludes. Pernah suatu hari, sengaja saya tidak bawa pakaian dari luar negeri saat cuti dan pulang ke Indonesia, karena saya tahu saya punya beberapa potong pakaian yang tersimpan di lemari saya. Betapa terkejut ketika saya tidak menemukan satupun pakaian yang menggantung di dalamnya. Lebih jengkel lagi, kata Ibu, beliau nggak tahu siapa yang mengenakan pakaian-pakaian saya!”

“Bapak saya tidak terkecuali! Saya sempat marah, dan males mau menelepon lagi ke rumah dalam beberapa bulan terakhir ini. Gimana nggak marah? Lha masak, sapi hasil tabungan saya kerja di luar negeri yang jumlahnya enam ekor, lenyap begitu saja. Kalau saya tanya kemana sapi-sapi tersebut sekarang, beliau bilang sedang dirumat oleh si Fulan di kampung A. Saya semula percaya. Tapi begitu saya pulang, ternyata semuanya bohong. Dan saya tidak tahu untuk apa duit hasil penjualan sapi tersebut. Padahal, Bapak saya kerja mapan, dan punya penghasilan yang cukup dibanding kebanyakan orang-orang kampung di desa kami. Nggak tahulah! Sampai saya sempat su’udzon, saya tanyakan sama Ibu, apakah Bapak punya istri simpanan. Bayangkan coba! Merokok nggak. Main nggak! Peminum juga bukan! Lantas kemana duit yang selama ini saya kirimkan dibelanjakan?”

Begitu ceritera seorang rekan yang tengah jengkel kepada kedua orangtuanya yang telah membelanjakan habis duit tabungan yang cukup banyak, hasil jerih payahnya kerja di luar negeri. Saya cukup maklum akan kekecewaannya selama ini kepada kedua orangtuanya. Itu tidak berarti saya ‘men-support’ pendapatnya akan sikap kedua-orangtuanya. Saya lebih beruntung dalam satu aspek.

Saya bilang, mendiang Ibunda saya, walaupun orangnya tidak pernah ‘makan’ sekolah, tapi pinter mengatur keuangan. Saya tidak pernah menyangka kalau setiap bulan duit yang saya kirimkan ke rumah, ternyata sama beliau tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Pada akhirnya, ketika suatu hari ada orang yang menawarkan akan menjual rumahnya, Ibu bilang apakah saya tertarik. Saya jawab, untuk saat ini tidak bisa, karena saya lagi nggak punya duit. “Duit yang kamu kirimkan setiap bulan itu saya kumpulkan. Insyaallah hanya butuh tambahan sedikit untuk bisa membeli rumah tersebut!” Kata beliau lewat telepon beberapa tahun lalu, sebelum beliau wafat.

Sesudah beliau berpulang ke rahmatullah, saya seringkali mengenang kebaikan-kebaikan dan budi mulia beliau sebagai seorang ibu terhadap anaknya. Sementara, anak-anaknya seperti saya ini, belum sempat membalas kebaikan yang berarti bagi beliau. Berbeda umunya cinta anak terhadap orangtuanya yang sering kandas, kasih sayang ibu terhadap anak-anaknya tidak pernah terhenti.

Saya ceriterakan hal tersebut kepada rekan saya. Saya juga kemukakan bahwa beruntung dia masih memiliki orangtua lengkap. Keberadaan beliau di dunia yang masih sehat wal-afiat ini merupakan ladang amal. Betapapun ‘kelirunya’ kedua orangtuanya, usahakan jangan sampai menyakiti hati keduanya. Karena perbuatan baik kita terhadap keduanya, tidak akan seimbang dengan kasih sayang yang keduanya berikan kepada kita. Gayung yang saya lempar, bersambut.

Mendengar kata-kata yang demikian, rekan saya jadi diam. Agaknya berefleksi. Saya hampir menitikkan air mata, ketika esok harinya, teman saya bilang bahwa dia baru saja menelepon kedua orangtuanya, menanyakan tentang keadaan dan kesehatan beliau berdua.

Sebagai manusia, siapa sih yang tidak pernah sakit hati? Kepada orangtua sekalipun. Padahal Rasulullah SAW mengajarkan, jangan pernah bilang bahkan kata ‘cih’ kepada orangtua kita. Orangtua kita, juga manusia biasa, yang tidak lepas dari khilaf dan kesalahan. Akan tetapi, kesalahan dan kekhilafan mereka bukan berarti tidak bisa dikoreksi. Apalagi tingkatannya seperti yang dikatakan oleh rekan saya diatas, tidak sampai, misalnya melarang kita sholat atau hal lain yang bertentangan dengan Islam.

Bagi saya, kalaupun orangtua dia memanfaatkan duit, toh duit itu milik teman saya sendiri, bukan hak milik orang lain. Makanya, tidak ada yang perlu ‘disesalkan’. Bersikap demikian, mengikhlaskan, itu mulia, namun tidak mudah! Karena saya juga pernah mengalaminya.

Kita sebagai manusia, umumnya suka menghitung pemberian. Semakin banyak kita memberi, kalau kita tidak hati-hati, semakin sering kita menghitungnya. Kadang makin jengkel dibuatnya! Itu kecenderungannya! Sementara Allah SWT, Mahakaya! Semakin sering kita meminta dan mensyukuri pemberianNya, semakin dilipat-gandakan rejeki kita. Subhanallah! “Kamu ini setiap hari minta-minta ke sini, emangnya bank ya?” Begitu ejekan kita pada orang-orang peminta-minta.

Sebagaimana yang dinasehatkan Ibu, saya lakukan, menabung sebagian penghasilan saya. Kerja di luar negeri, memang lebih besar gajinya dibanding sebagian besar penghasilan rekan-rekan saya di Tanah Air. Saya ingin memiliki investasi yang kelak bisa dipergunakan apabila sudah kembali. Investasi yang paling baik waktu itu (mungkin juga sekarang?) adalah memiliki tanah. Dibanding dengan harta-harta lainnya, tanah beda sekali. Harganya akan terus menjanjikan. Dan itu menguntungkan. Dari pada disimpan di bank, yang bunganya haram dalam pandangan Islam, lebih bijak beli tanah.

Rencana berjalan mulus, hingga jumlah duit saya rasanya cukup untuk membeli sebidang tanah terkumpul. Tidak terlalu luas, tapi seandainya dimanfaatkan untuk mendirikan rumah, akan cukup.

Tanah pun saya beli, setelah konsulatsi dengan Ibu. Ibuku, idolaku. Wanita tua itu satu-satunya yang saya miliki, karena Ayah sudah ‘berpulang’ lebih dahulu. Yang saya kuatir sekali akan ketidak-tentraman hidupnya adalah apabila saya menyakiti hati atau tidak mematuhi nasehatnya. Saya ingin patuh pada beliau, supaya bisa berpredikat sebagai anak yang berbakti pada orangtuanya. Apakah berlebihan sikap yang demikian?

Akan tetapi pikiran saya berubah. Buat apa punya tanah banyak-banyak. Toh saya sudah membeli rumah. Dasar manusia, selalu kurang puas! Rasulullah SAW pernah bersabda, andainya pun manusia memiliki harta emas sebesar gunung Uhud, mereka masih ingin memiliki segunung itu lagi. Itulah yang saya sadari. Saya tidak ingin disebut sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah SAW: serakah!

Adik saya ada yang baru lulus kuliah. Sarjana Pendidikan gelarnya. Tapi cari kerja bukan main sulitnya. Saya mencoba menopang kehidupannya yang saya tahu butuh dukungan finansial. Setiap bulannya saya sisahkan sedikit bantuan untuknya. Saya katakan pada Ibu, tanah yang baru saya beli itu ingin saya berikan kepadanya. Siapa tahu kelak ada hikmahnya.

Saya tidak bermaksud sombong terhadap adik kandung sendiri. Tapi, jaman sekarang ini, beli tanah, bagi sebagian masyarakat Indonesia yang menurut statistik hampir 40% hidup dalam kemiskinan, sulit sekali. Bahkan mimpi bagi sementara orang. Saya akan berikan tanah tersebut dengan harapan dia akan bisa gunakan, siapa tahu ada rejeki dari Allah SWT, perlahan-lahan dapat mendirikan rumah. Sehingga tidak harus repot nyicil seperti guru-guru SD.

Ibuku menyambut gembira ide tersebut! Alhamdulillah! Belum genap satu bulan, sertifikat tanah sudah diserahkan Ibuku kepada adik. Betapa menyesalnya saya ketika belum juga tiga bulan berlalu kepemilikan tanah tersebut saya pindahkan di tangannya, ternyata sama dia dijual, jadi hak milik orang lain, tanpa sepengetahuan saya!

Saya tahu dan sadar sepenuhnya, bahwa tanah tersebut kini sudah jadi miliknya. Yang saya sesali adalah pemanfaatannya yang diluar dugaan saya sama sekali. Saya rasa banyak orang yang setuju dengan pola pikir saya. Apalagi nilai jualnya dibawah nilai beli. Saya marah!!!

Tapi untuk apa marah terhadap sesuatu yang sudah terjadi? Sekali lagi, kita memang bukan Tuhan. God gives and forgives, but man gets and forgets! Manusia seperti saya amat lemah. Padahal sejengkal tanah itu pada dasarnya kan bukan milik saya? Milik mutlak Yang Diatas Sana. Tanah itu sekedar lewat saya, sebelum saya berikan kepada adik saya. Allah SWT memiliki sejuta cara untuk menguji umatnya.

Tanah tersebut dijual oleh adik saya, karena dia ingin melunasi hutang-hutangnya yang saya tidak tahu berapa jumlahnya. Saya jadi mikir, apa artinya punya kekayaan jika ternyata hutang bertumpuk di belakang. Saya menyesal karena sempat memarahinya.

Manusia seperti saya, yang imannya naik turun, terlalu banyak perhitungan. Pemberian yang sedikit saja, sekalipun pada keluarga dekatnya sendiri, masuk dalam kalkulatornya. Padahal, jika kita menghitung pemberian Allah SWT, seumur hidup pun tidak akan selesai menghitung nikmatnya. Nikmat yang disyukuri, akan berlipat jumlahnya. Sebaliknya, semakin kita menghitung pemberian kita kepada sesama, semakin berkurang nilai amal kita.

Saya berlindung kepada Allah SWT dari ‘kejahatan’ berupa menghitung amal pemberian yang tidak lain adalah riya’ ini. Semoga adik saya memaafkan kesalahan abangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar