Suatu hari seorang saudagar perhiasan di zaman Tabiin bernama Yunus bin Ubaid, menyuruh saudaranya menjaga kedainya karena ia akan melaksanakan shalat. Saat itu datanglah seorang Badui yang hendak membeli perhiasan di kedai tersebut. Maka terjadilah jual beli di antara Badui dan penjaga kedai yang diamanahkan tuannya. Satu barang perhiasan permata yang hendak dibeli harganya 400 dirham. Saudara Yunus menunjukkan barang yang sebetulnya harganya 200 dirham. Barang tersebut dibeli oleh Badui tadi tanpa diminta mengurangkan harganya.
Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Yunus bin Ubaid. Yunus lalu bertanya kepada si Badui yang membawa perhiasan yang dibeli dari kedainya. Sementara dia mengenali barang tersebut adalah dari kedainya. Yunus bertanya kepada Badui itu, “Berapakah harga barang ini kamu beli?”
Badui menjawab, “Empat ratus dirham.”
“Tetapi harga sebenarnya Cuma 200 dirham. Mari ke kedai saya supaya saya dapat mengembalikan uang selebihnya kepada Anda, “ kata Yunus lagi. “Biarlah, tidak perlu. Aku merasa senang dan beruntung dengan harga 400 dirham itu, sebab di kampungku harga barang ini paling murah 500 dirham.”
Tetapi saudagar Yunus itu tidak mau melepaskan Badui itu pergi. Didesaknya juga agar Badui itu kembali ke kedainya dan bila tiba dikembalikan uang lebih kepada Badui itu. Setelah Badui pergi, berkatalah Yunus pada saudaranya, “Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan dua kali ganda?”
“Tetapi dia sendiri yang mau membelinya dengan harga 400 dirham.” Saudaranya mencoba mempertahankan bahwa dialah yang benar.
Yunus berkata, “Ya, tapi di atas kita terpikul satu amanah untuk memperlakukan saudara kita seperti memperlakukan terhadap diri kita sendiri.”
***
Jika kisah ini dapat dijadikan tauladan bagi pedagang-pedagang kita yang beriman, amatlah tepat. Karena ini menunjukkan pribadi seorang pedagang yang jujur dan amanah di jalan mencari rezeki yang halal. Jika semuanya berjalan dengan aman dan tenteram karena tidak ada penipuan dalam perniagaan.
Dalamhal ini Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu penetap harga, yang menahan, yang melepas, dan membagi rezeki, dan sesungguhnya aku harap bertemu Allah di dalam keadaan tidak seorang pun dari kata menuntut aku lantaran menzalimi jiwa atau harga.” (Diriwayatkan lima imam kecuali Nasa’i)
Cari Blog Ini
Rabu, 02 Februari 2011
MEMBERI 1 DIRHAM
Dari Al-Fudhail bin Iyadh, ia berkata, "Seorang laki-laki menceritakan kepadaku, 'Ada laki-laki yang keluar membawa benang tenun, lalu ia menjualnya satu dirham untuk membeli tepung. Ketika pulang ia melewati dua orang laki-laki yang masing-masing menjambak kepala kawannya. Ia lalu bertanya, 'Ada apa?' Orang pun memberi tahunya bahwa mereka bertengkar karena uang satu dirham. Maka, ia memberikan uang satu dirham itu kepada keduanya, dan ia tidak memiliki sesuatu.
Ia lalu mendatangi istrinya seraya mengabarkan apa yang telah terjadi. Sang istri lalu mengumpulkan beberapa perkakas rumah tangga. Laki-laki itu pun berangkat kembali untuk menggadaikannya, tetapi barang-barang itu tidak laku. Tiba-tiba kemudian ia berpapasan dengan laki-laki yang membawa ikan yang menebar bau busuk. Orang itu lalu berkata kepadanya, 'Engkau membawa sesuatu yang tidak laku, demikian pula dengan yang aku bawa. Apakah engkau mau menukarnya dengan barangku (daganganku)?' Ia pun mengiakan. Ikan itu lalu di bawa pulang. Kepada istrinya ia berkata, 'Dindaku, segeralah urus (masak) ikan ini, kita hampir tidak berdaya karena lapar.' Maka, sang istri segera mengurus ikan tersebut. Lalu, dibelahnya perut ikan tersebut. Tiba-tiba sebuah mutiara keluar dari perut ikan tersebut.
Wanita itu pun dengan gembira berkata, 'Wahai suamiku, dari perut ikan ini keluar sesuatu yang lebih kecil dari telur ayam, ia hampir sebesar telur burung dara'.
Suaminya berkata, 'Perlihatkan kepadaku,' maka ia sesuatu yang tidak pernah dilihatnya sepanjang hidupnya. Pikirannya melayang, hatinya berdebar. Ia lalu berkata kepada istrinya, 'Saya kira ini mutiara'. Istrinya menyahut, 'Tahukan engkau berapa nilai mutiara ini?' 'Tidak, tetapi aku mengetahui siapa orang yang pintar dalam hal ini,' jawab suaminya. Ia lalu mengambil mutiara itu dan segera pergi ke tempat para penjual mutiara. Ia menghampiri kawannya yang ahli di bidang mutiara. Ia mengucapkan salam kepada kawannya, dan kawannya pun menjawab salamnya. Selanjutnya, ia berbicara kepadanya sambil mengeluarkan sesuatu sebesar telur burung dara. 'Tahukah Anda, berapa nilai ini?' tanyanya. Kawannya memperhatikan barang itu begitu lama, baru kemudian ia berkata, 'Aku menghargainya 40 ribu, jika Anda mau uang itu, aku bayar kontan sekarang juga; jika Anda ingin harga yang lebih tinggi, pergilah kepada si Fulan, dia akan memberimu harga lebih tinggi dariku.'
Ia pun pergi kepada orang yang dimaksud. Orang itu memperhatikan barang tersebut dan mengakui keelokannya. Ia kemudian berkata, 'Aku hargai 80 ribu, jika Anda ingin harga yang lebih tinggi, pergilah kepada si Fulan, saya kira dia akan memberi harga lebih tinggi dariku.'
Segera ia bergegas menuju kepada orang yang dimaksud. Orang itu berkata, 'Aku hargai barang itu 120 ribu, dan saya kira tidak ada orang yang berani menambah sedikit pun dari harga itu.' 'Ya', ia pun setuju. Lalu, harta itu ditimbangnya. Maka, pada hari itu ia membawa dua belas kantung uang. Pada masing-masingnya terdapat sepuluh ribu dirham. Uang itu pun dibawa ke rumah untuk disimpan. Tiba-tiba di pintu rumahnya ada seorang fakir yang meminta-minta. Maka ia berkata, 'Saya punya kisah, karena itu masuklah.' Orang itu pun masuk. Ia berkata, 'Ambillah separuh dari hartaku ini. Maka, orang fakir itu mengambil enam kantung uang dan dibawanya. Setelah agak menjauh, ia kembali lagi seraya berkata, 'Sebenarnya aku bukanlah orang miskin atau fakir, tetapi Allah SWT telah mengutusku kepadamu, yakni Zat yang telah mengganti satu dirhammu dengan dua puluh qirath. Dan, ini yang diberikan kepadamu baru satu Qirath dari padanya, dan Dia menyimpan untukmu sembilan belas qirath yang lain.
Ia lalu mendatangi istrinya seraya mengabarkan apa yang telah terjadi. Sang istri lalu mengumpulkan beberapa perkakas rumah tangga. Laki-laki itu pun berangkat kembali untuk menggadaikannya, tetapi barang-barang itu tidak laku. Tiba-tiba kemudian ia berpapasan dengan laki-laki yang membawa ikan yang menebar bau busuk. Orang itu lalu berkata kepadanya, 'Engkau membawa sesuatu yang tidak laku, demikian pula dengan yang aku bawa. Apakah engkau mau menukarnya dengan barangku (daganganku)?' Ia pun mengiakan. Ikan itu lalu di bawa pulang. Kepada istrinya ia berkata, 'Dindaku, segeralah urus (masak) ikan ini, kita hampir tidak berdaya karena lapar.' Maka, sang istri segera mengurus ikan tersebut. Lalu, dibelahnya perut ikan tersebut. Tiba-tiba sebuah mutiara keluar dari perut ikan tersebut.
Wanita itu pun dengan gembira berkata, 'Wahai suamiku, dari perut ikan ini keluar sesuatu yang lebih kecil dari telur ayam, ia hampir sebesar telur burung dara'.
Suaminya berkata, 'Perlihatkan kepadaku,' maka ia sesuatu yang tidak pernah dilihatnya sepanjang hidupnya. Pikirannya melayang, hatinya berdebar. Ia lalu berkata kepada istrinya, 'Saya kira ini mutiara'. Istrinya menyahut, 'Tahukan engkau berapa nilai mutiara ini?' 'Tidak, tetapi aku mengetahui siapa orang yang pintar dalam hal ini,' jawab suaminya. Ia lalu mengambil mutiara itu dan segera pergi ke tempat para penjual mutiara. Ia menghampiri kawannya yang ahli di bidang mutiara. Ia mengucapkan salam kepada kawannya, dan kawannya pun menjawab salamnya. Selanjutnya, ia berbicara kepadanya sambil mengeluarkan sesuatu sebesar telur burung dara. 'Tahukah Anda, berapa nilai ini?' tanyanya. Kawannya memperhatikan barang itu begitu lama, baru kemudian ia berkata, 'Aku menghargainya 40 ribu, jika Anda mau uang itu, aku bayar kontan sekarang juga; jika Anda ingin harga yang lebih tinggi, pergilah kepada si Fulan, dia akan memberimu harga lebih tinggi dariku.'
Ia pun pergi kepada orang yang dimaksud. Orang itu memperhatikan barang tersebut dan mengakui keelokannya. Ia kemudian berkata, 'Aku hargai 80 ribu, jika Anda ingin harga yang lebih tinggi, pergilah kepada si Fulan, saya kira dia akan memberi harga lebih tinggi dariku.'
Segera ia bergegas menuju kepada orang yang dimaksud. Orang itu berkata, 'Aku hargai barang itu 120 ribu, dan saya kira tidak ada orang yang berani menambah sedikit pun dari harga itu.' 'Ya', ia pun setuju. Lalu, harta itu ditimbangnya. Maka, pada hari itu ia membawa dua belas kantung uang. Pada masing-masingnya terdapat sepuluh ribu dirham. Uang itu pun dibawa ke rumah untuk disimpan. Tiba-tiba di pintu rumahnya ada seorang fakir yang meminta-minta. Maka ia berkata, 'Saya punya kisah, karena itu masuklah.' Orang itu pun masuk. Ia berkata, 'Ambillah separuh dari hartaku ini. Maka, orang fakir itu mengambil enam kantung uang dan dibawanya. Setelah agak menjauh, ia kembali lagi seraya berkata, 'Sebenarnya aku bukanlah orang miskin atau fakir, tetapi Allah SWT telah mengutusku kepadamu, yakni Zat yang telah mengganti satu dirhammu dengan dua puluh qirath. Dan, ini yang diberikan kepadamu baru satu Qirath dari padanya, dan Dia menyimpan untukmu sembilan belas qirath yang lain.
MANUSIA MALAM
Malam bagi sebagian orang yang merasakannya, ada nuansa tersendiri untuk jiwa. Dalam waktu dua belas jam itu segala aktivitas yang biasa terjadi siang hari terhenti. Dan ketika kegelapan menutupi jagat maha luas berdiameter 4,9 exp 9 pc ini, saat itulah keluar binatang malam pertanda dimulai kehidupan lain. Kehidupan malam. Saat terindah bagi sang zahid menghitung-hitung, dan menimbang-nimbang potongan-potongan kehidupannya.
Pukul 15.30 menit waktu Kairo ketika ia dihubungi via SMS. Usai shalat Ashar di perempatan mesjid Rab'ah El Adawea. Fisiknya masih lelah, ia baru saja pulang kuliah. Tapi, percikan air wudhu tadi cukup memberinya kesegaran baru, dan shalat Ashar yang baru ditunaikannya menambah energi jiwanya. Sendi-sendinya kembali segar untuk melakukan aktivitas baru.
"Nanti malam usai shalat Isya, kita bertemu untuk qiyamul lail" begitu bunyi SMS itu.
Ia menghela nafas panjang. Sesaat memutar otaknya ke janji pertemuan yang lain. Ia teringat, tadi di kuliah ia bertemu kawannya satu grup sepak bola. Olah raga rutinnya setiap minggu. Kawannya itu mengajak bertanding di stadion Syabab, Abbasea. Dekat asrama internasional Al-Azhar. Sebuah stadion yang biasa disewakan kepada pelajar asing. Tawaran itu begitu menggiurkannya, karena akan bertanding di malam hari. Usai shalat Isya. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya, bermain di bawah lampu tembak dengan ribuan watt. Selama ini hanya melihatnya di layar televisi, ketika ada pertandingan yang benar-benar bagus. Dan besok libur akhir pekan.
Pikiran jernihnya lebih memilih untuk ikut acara perkumpulan itu. Acara yang sederhana, tapi dari sana ia menemukan kenikmatan seperti malam-malam yang lalu. "Main bola bisa lain waktu, yang ini lebih penting," gumamnya pelan menjawab protes hawa nafsunya untuk datang ke stadion.
Dalam ruang berukuran cukup luas itu berkumpul beberapa anak muda. Dari berbagai aktivitas dan hobi. Mereka duduk bersama, wajah-wajah mereka terlihat cerah. Seakan beban-beban siang yang menghimpit hilang begitu saja. Mereka akan menjumpai menit-menit yang mahal itu.
Seseorang di antara mereka berkata halus, sepertinya yang mengetuai anak-anak muda itu. Ia mengutip perkataan Muhammad Ahmad Rasyid seorang da'i pergerakan dari Irak : "Sujud dalam mihrab, beristigfar ketika menjelang subuh, dan air mata saat munajat merupakan ketinggian yang harus dikumpulkan orang-orang yang beriman. Jika ada kecenderungan dengan gemerlap surga dunia berupa uang, wanita, atau sebuah istana yang megah. Ketahuilah, sungguh surga seorang mukmin itu berada di mihrabnya"
***
Suatu waktu ia membaca kisah pemimpin besar yang dicatat sejarah. Biografi Al Faruq Umar Bin Khattab. Otaknya bertanya-tanya apa yang dilakukan lelaki tegas itu di waktu malam, disimaknya beberapa riwayat Umar dalam qiyamul lail.
Seorang imam ahli tafsir Al Hafidz Ibnu Katsir berkisah tentang malamnya Umar: "Ia sholat Isya berjamaah, lalu masuk ke rumahnya dan melanjutkan shalat sampai waktu fajar tiba."
Ia terdiam. Kagum, haru, dan dalam diam ia bertanya, sanggupkah aku menirunya? Umar sebagai kepala negara, suami, murabbi, dan ayah untuk anak-anaknya, masih menyempatkan diri untuk shalat malam. Ia yakin kesibukan dirinya bukan apa-apa dibanding kesibukan khalifah kedua itu. Ia belum puas, ia simak lagi riwayat lain.
Umar pernah berkata kepada sahabat Mu'awiyah Bin Khadij-yang heran karena melihat dirinya jarang tidur: "Jika aku tidur siang hari maka aku akan menelantarkan rakyatku, dan jika aku tidur di malam hari aku menelantarkan diriku. Bagaimana aku bisa tidur dengan dua keadaan ini?" inilah jawaban sederhana dari sosok pemimpin besar, yang setan pun takut berjumpa dengannya.
Pemuda ini pemimpin sebuah persatuan pelajar asing. Ia juga seorang yang mandiri dalam ekonomi. Masih muda, baru dua puluh dua tahun. Dengan antrian aktivitas yang panjang. Tapi ia selalu merasa bukan apa-apa. Bukan pujian dari orang-orang yang ingin ia terima karena sukses sebagai aktivis, atau sorak sorai penonton sepak bola saat ia mencetak gol. Bukan, bukan itu kemuliaan. Dulu memang ia sangat menikmati 'fasilitas dunia' itu, tapi ia merasa berjalan sendiri. Hampa seperti kapas yang ditiup angin. Ia merasa lemah untuk memimpin diri sendiri. Cukuplah ia merasa bahagia jika di malam yang gelap gulita ia terbangun, lalu mendirikan shalat untuk mengadukan segala kepenatan hidup.
"Anda di sini juga?" tanyanya setengah percaya. Kawan yang disapanya itu adalah yang tadi mengundangnya bertanding sepak bola.
"Iya. Ini lebih penting." Sambil memutarkan pandangannya mengenali seluruh yang ada dalam ruangan itu. Ia merasa kecil sendiri. Malu. Pemuda-pemuda yang ada bersamanya sekarang adalah orang-orang yang kesibukannya lebih banyak darinya. Tapi mereka masih menyempatkan untuk datang.
Seribu empat ratus tahun lalu Rasulullah SAW bersabda, "Kenikmatan seorang hamba Allah adalah ketika ia shalat di waktu malam." Dan katanya lagi, "Shalat yang terbaik adalah shalat Daud AS, tidur sampai pertengahan malam dan bangun di sepertiganya."
Setiap muslim mengenal Nabi Daud AS, pemimpin kerajaan terbesar Bani Israel sepanjang sejarah. Kelak ia pun mendapat keturunan pemimpin besar yang rakyatnya bukan saja manusia, namun dari bangsa Jin dan binatang-binatang patuh kepadanya. Seorang Nabi juga, Sulaiman AS.
Lamat-lamat dalam keheningan malam di temani bau debu gurun dan samar cahaya rembulan, terdengar seseorang melantunkan Ayat Quran. "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan-nya. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (Adz Dzariyat 15-18)
Pukul 15.30 menit waktu Kairo ketika ia dihubungi via SMS. Usai shalat Ashar di perempatan mesjid Rab'ah El Adawea. Fisiknya masih lelah, ia baru saja pulang kuliah. Tapi, percikan air wudhu tadi cukup memberinya kesegaran baru, dan shalat Ashar yang baru ditunaikannya menambah energi jiwanya. Sendi-sendinya kembali segar untuk melakukan aktivitas baru.
"Nanti malam usai shalat Isya, kita bertemu untuk qiyamul lail" begitu bunyi SMS itu.
Ia menghela nafas panjang. Sesaat memutar otaknya ke janji pertemuan yang lain. Ia teringat, tadi di kuliah ia bertemu kawannya satu grup sepak bola. Olah raga rutinnya setiap minggu. Kawannya itu mengajak bertanding di stadion Syabab, Abbasea. Dekat asrama internasional Al-Azhar. Sebuah stadion yang biasa disewakan kepada pelajar asing. Tawaran itu begitu menggiurkannya, karena akan bertanding di malam hari. Usai shalat Isya. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya, bermain di bawah lampu tembak dengan ribuan watt. Selama ini hanya melihatnya di layar televisi, ketika ada pertandingan yang benar-benar bagus. Dan besok libur akhir pekan.
Pikiran jernihnya lebih memilih untuk ikut acara perkumpulan itu. Acara yang sederhana, tapi dari sana ia menemukan kenikmatan seperti malam-malam yang lalu. "Main bola bisa lain waktu, yang ini lebih penting," gumamnya pelan menjawab protes hawa nafsunya untuk datang ke stadion.
Dalam ruang berukuran cukup luas itu berkumpul beberapa anak muda. Dari berbagai aktivitas dan hobi. Mereka duduk bersama, wajah-wajah mereka terlihat cerah. Seakan beban-beban siang yang menghimpit hilang begitu saja. Mereka akan menjumpai menit-menit yang mahal itu.
Seseorang di antara mereka berkata halus, sepertinya yang mengetuai anak-anak muda itu. Ia mengutip perkataan Muhammad Ahmad Rasyid seorang da'i pergerakan dari Irak : "Sujud dalam mihrab, beristigfar ketika menjelang subuh, dan air mata saat munajat merupakan ketinggian yang harus dikumpulkan orang-orang yang beriman. Jika ada kecenderungan dengan gemerlap surga dunia berupa uang, wanita, atau sebuah istana yang megah. Ketahuilah, sungguh surga seorang mukmin itu berada di mihrabnya"
***
Suatu waktu ia membaca kisah pemimpin besar yang dicatat sejarah. Biografi Al Faruq Umar Bin Khattab. Otaknya bertanya-tanya apa yang dilakukan lelaki tegas itu di waktu malam, disimaknya beberapa riwayat Umar dalam qiyamul lail.
Seorang imam ahli tafsir Al Hafidz Ibnu Katsir berkisah tentang malamnya Umar: "Ia sholat Isya berjamaah, lalu masuk ke rumahnya dan melanjutkan shalat sampai waktu fajar tiba."
Ia terdiam. Kagum, haru, dan dalam diam ia bertanya, sanggupkah aku menirunya? Umar sebagai kepala negara, suami, murabbi, dan ayah untuk anak-anaknya, masih menyempatkan diri untuk shalat malam. Ia yakin kesibukan dirinya bukan apa-apa dibanding kesibukan khalifah kedua itu. Ia belum puas, ia simak lagi riwayat lain.
Umar pernah berkata kepada sahabat Mu'awiyah Bin Khadij-yang heran karena melihat dirinya jarang tidur: "Jika aku tidur siang hari maka aku akan menelantarkan rakyatku, dan jika aku tidur di malam hari aku menelantarkan diriku. Bagaimana aku bisa tidur dengan dua keadaan ini?" inilah jawaban sederhana dari sosok pemimpin besar, yang setan pun takut berjumpa dengannya.
Pemuda ini pemimpin sebuah persatuan pelajar asing. Ia juga seorang yang mandiri dalam ekonomi. Masih muda, baru dua puluh dua tahun. Dengan antrian aktivitas yang panjang. Tapi ia selalu merasa bukan apa-apa. Bukan pujian dari orang-orang yang ingin ia terima karena sukses sebagai aktivis, atau sorak sorai penonton sepak bola saat ia mencetak gol. Bukan, bukan itu kemuliaan. Dulu memang ia sangat menikmati 'fasilitas dunia' itu, tapi ia merasa berjalan sendiri. Hampa seperti kapas yang ditiup angin. Ia merasa lemah untuk memimpin diri sendiri. Cukuplah ia merasa bahagia jika di malam yang gelap gulita ia terbangun, lalu mendirikan shalat untuk mengadukan segala kepenatan hidup.
"Anda di sini juga?" tanyanya setengah percaya. Kawan yang disapanya itu adalah yang tadi mengundangnya bertanding sepak bola.
"Iya. Ini lebih penting." Sambil memutarkan pandangannya mengenali seluruh yang ada dalam ruangan itu. Ia merasa kecil sendiri. Malu. Pemuda-pemuda yang ada bersamanya sekarang adalah orang-orang yang kesibukannya lebih banyak darinya. Tapi mereka masih menyempatkan untuk datang.
Seribu empat ratus tahun lalu Rasulullah SAW bersabda, "Kenikmatan seorang hamba Allah adalah ketika ia shalat di waktu malam." Dan katanya lagi, "Shalat yang terbaik adalah shalat Daud AS, tidur sampai pertengahan malam dan bangun di sepertiganya."
Setiap muslim mengenal Nabi Daud AS, pemimpin kerajaan terbesar Bani Israel sepanjang sejarah. Kelak ia pun mendapat keturunan pemimpin besar yang rakyatnya bukan saja manusia, namun dari bangsa Jin dan binatang-binatang patuh kepadanya. Seorang Nabi juga, Sulaiman AS.
Lamat-lamat dalam keheningan malam di temani bau debu gurun dan samar cahaya rembulan, terdengar seseorang melantunkan Ayat Quran. "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan-nya. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (Adz Dzariyat 15-18)
MANGKUK CANTIK,MADU DAN SEHELAI RAMBUT
Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, dan Utsman datang bertamu ke rumah Ali. Di sana mereka dijamu oleh Fathimah, putri Rasulullah SAW sekaligus istri Ali bin Abi Thalib. Fathimah menghidangkan untuk mereka semangkuk madu. Ketika mangkuk itu diletakkan, sehelai rambut jatuh melayang dekat mereka. Rasulullah SAW segera meminta para sahabatnya untuk membuat perbandingan terhadap ketiga benda tersebut, yaitu mangkuk yang cantik, madu, dan sehelai rambut.
Abu Bakar yang mendapat giliran pertama segera berkata, “Iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut.”
Rasulullah SAW tersenyum, lalu beliau menyuruh Umar untuk mengungkapkan kata-katanya. Umar segera berkata, “Kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Rajanya lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Rasulullah SAW kembali tersenyum, lalu berpaling kepada Utsman seraya mempersilakannya untuk membuat perbandingan tiga benda di hadapan mereka. Utsman berkata, “Ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan beramal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Seperti semula, Rasulullah SAW kembali tersenyum kagum mendengar perumpamaan yang disebutkan para sahabatnya. Beliau pun segera mempersilakan Ali bin Abi Thalib untuk mengungkapkan kata-katanya. Ali berkata, “Tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumahnya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Rasulullah SAW segera mempersilakan Fathimah untuk membuat perbandingan tiga benda di hadapan mereka. Fathimah berkata, “Seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik. Wanita yang mengenakan purdah itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Setelah mendengarkan perumpamaan dari para sahabatnya, Rasulullah SAW segera berkata, “Seorang yang mendapat taufiq untuk beramal lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Beramal dengan perbuatan baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat amal dengan ikhlas, lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Malaikat Jibril yang hadir bersama mereka, turut membuat perumpamaan, “Menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik. Menyerahkan diri, harta, dan waktu untuk agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Allah SWT pun membuat perumpamaan dengan firman-Nya dalam hadits Qudsi, “Surga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu. Nikmat surga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju surga-Ku lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Abu Bakar yang mendapat giliran pertama segera berkata, “Iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut.”
Rasulullah SAW tersenyum, lalu beliau menyuruh Umar untuk mengungkapkan kata-katanya. Umar segera berkata, “Kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Rajanya lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Rasulullah SAW kembali tersenyum, lalu berpaling kepada Utsman seraya mempersilakannya untuk membuat perbandingan tiga benda di hadapan mereka. Utsman berkata, “Ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan beramal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Seperti semula, Rasulullah SAW kembali tersenyum kagum mendengar perumpamaan yang disebutkan para sahabatnya. Beliau pun segera mempersilakan Ali bin Abi Thalib untuk mengungkapkan kata-katanya. Ali berkata, “Tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumahnya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Rasulullah SAW segera mempersilakan Fathimah untuk membuat perbandingan tiga benda di hadapan mereka. Fathimah berkata, “Seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik. Wanita yang mengenakan purdah itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Setelah mendengarkan perumpamaan dari para sahabatnya, Rasulullah SAW segera berkata, “Seorang yang mendapat taufiq untuk beramal lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini. Beramal dengan perbuatan baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat amal dengan ikhlas, lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Malaikat Jibril yang hadir bersama mereka, turut membuat perumpamaan, “Menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik. Menyerahkan diri, harta, dan waktu untuk agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
Allah SWT pun membuat perumpamaan dengan firman-Nya dalam hadits Qudsi, “Surga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu. Nikmat surga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju surga-Ku lebih sulit dari meniti sehelai rambut.”
MALU DILIHAT ANJING
Suatu hari, bersama beberapa temannya, Husain bin Ali berangkat ke kebunnya yang dijaga seorang budak bernama Shafi. Husain sengaja datang ke kebun itu tanpa memberi tahu terlebih dahulu sebelumnya.
Ketika tiba di kebun, Husain melihat budaknya sedang duduk istirahat di bawah sebatang pohon sambil makan roti. Ia juga melihat seekor anjing sedang duduk di hadapan Shafi sedang menikmati makannya juga. Husain melihat Shafi membelah rotinya menjadi 2. Yang separuh dimakannya sendiri, sedang separuhnya diberikan kepada anjing. Setelah selesai menghabiskan bagian roti masing-masing, Shafi berdoa sambil mengangkat kedua tangannya, "Alhamdulillah robbil 'alamin. Ya Allah, berikanlah maaf dan ampun-Mu kepadaku dan kepada tuanku. Limpahkanlah rahmat dan karunia-Mu kepadanya sebagaimana Engkau telah memberkati ayah dan bundanya dengan rahmat yang luas dan belas kasih-Mu ya Rabbal 'Alamin."
Husain menyaksikan semua itu. Mendengar kata-kata dan melihat perbuatan Shafi, Husain tidak dapat menahan dirinya. Ia memanggil, "Ya, Shafi..." Shafi kaget mendengar panggilan tuannya. Sambil meloncat gugup ia menjawab, "Aduh tuanku! Maafkan aku. Sungguh, aku benar-benar tidak melihatmu." Shafi merasa bersalah karena tidak mengetahui kedatangan tuannya. Tetapi sambil mendekati Shafi Husain berkata, "Sudahlah, sebenarnya aku yang bersalah dan minta maaf padamu. Sebab aku memasuki kebunmu tanpa izin lebih dahulu."
"Kenapa tuan mengatakan demikian," kata Shafi dengan rikuh.
"Sudahlah, jangan kita persoalkan lagi masalah itu. Hanya aku ingin mengapa anjing itu tadi engkau beri separuh dari rotimu?" tanya Husain penuh penasaran.
Dengan malu Shafi menjawab, "Maklumlah tuan, aku merasa malu dipandangi terus oleh anjing itu ketika aku hendak makan tadi. Sedang anjing itu milik tuan dan dia turut menjaga kebun ini dari gangguan orang. Sedang aku hanya mengerjakan kebun tuan ini. Karena itu, rezeki dari tuan sudah selayaknya kubagi dengan anjing ini."
Mendengar penjelasan Shafi, Husain terharu dan meneteskan air mata. Orang yang berderajat budak ternyata memiliki budi yang tinggi. Dengan suara parau, Husain berkata, "Wahai Shafi, saat ini juga engkau bebas dari perbudakan. Terimalah dua ribu dinar sebagai pemberian dariku dengan penuh keikhlasan."
"Lama Shafi tertegun melihat Husain dan uang dua ribu dinar tersebut. Ia seolah tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Namun Husain menganggukkan kepalanya dengan senyuman sambil menyerahkan uang tersebut.
Ketika tiba di kebun, Husain melihat budaknya sedang duduk istirahat di bawah sebatang pohon sambil makan roti. Ia juga melihat seekor anjing sedang duduk di hadapan Shafi sedang menikmati makannya juga. Husain melihat Shafi membelah rotinya menjadi 2. Yang separuh dimakannya sendiri, sedang separuhnya diberikan kepada anjing. Setelah selesai menghabiskan bagian roti masing-masing, Shafi berdoa sambil mengangkat kedua tangannya, "Alhamdulillah robbil 'alamin. Ya Allah, berikanlah maaf dan ampun-Mu kepadaku dan kepada tuanku. Limpahkanlah rahmat dan karunia-Mu kepadanya sebagaimana Engkau telah memberkati ayah dan bundanya dengan rahmat yang luas dan belas kasih-Mu ya Rabbal 'Alamin."
Husain menyaksikan semua itu. Mendengar kata-kata dan melihat perbuatan Shafi, Husain tidak dapat menahan dirinya. Ia memanggil, "Ya, Shafi..." Shafi kaget mendengar panggilan tuannya. Sambil meloncat gugup ia menjawab, "Aduh tuanku! Maafkan aku. Sungguh, aku benar-benar tidak melihatmu." Shafi merasa bersalah karena tidak mengetahui kedatangan tuannya. Tetapi sambil mendekati Shafi Husain berkata, "Sudahlah, sebenarnya aku yang bersalah dan minta maaf padamu. Sebab aku memasuki kebunmu tanpa izin lebih dahulu."
"Kenapa tuan mengatakan demikian," kata Shafi dengan rikuh.
"Sudahlah, jangan kita persoalkan lagi masalah itu. Hanya aku ingin mengapa anjing itu tadi engkau beri separuh dari rotimu?" tanya Husain penuh penasaran.
Dengan malu Shafi menjawab, "Maklumlah tuan, aku merasa malu dipandangi terus oleh anjing itu ketika aku hendak makan tadi. Sedang anjing itu milik tuan dan dia turut menjaga kebun ini dari gangguan orang. Sedang aku hanya mengerjakan kebun tuan ini. Karena itu, rezeki dari tuan sudah selayaknya kubagi dengan anjing ini."
Mendengar penjelasan Shafi, Husain terharu dan meneteskan air mata. Orang yang berderajat budak ternyata memiliki budi yang tinggi. Dengan suara parau, Husain berkata, "Wahai Shafi, saat ini juga engkau bebas dari perbudakan. Terimalah dua ribu dinar sebagai pemberian dariku dengan penuh keikhlasan."
"Lama Shafi tertegun melihat Husain dan uang dua ribu dinar tersebut. Ia seolah tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Namun Husain menganggukkan kepalanya dengan senyuman sambil menyerahkan uang tersebut.
MAKNA INNALILLAHI
Suatu hari seorang salafushalih terkenal, Fudhail bin Iyadh, bertanya kepada seorang lelaki, " Berapa umurmu?" "Enam puluh tahun," jawab lelaki itu.
Lalu Fudhail berkata, "Sesungguhnya engkau telah enam puluh tahun menuju Rabb-mu dan kini kau hampir sampai." Lelaki itu berkata, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un. (Sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nya lah kita akan kembali)."
Mendengar ucapan lelaki itu, Fudhail kembali bertanya, "Tahukah engkau bagaimana tafsirnya?"
"Tafsirkan kepada kami wahai Abu Ali (panggilan Fudhail)," pinta lelaki itu.
"Jika engkau mengatakan, 'inna lillahi' berarti engkau mengikrarkan bahwa engkau adalah hamba Allah dan kepada Allah engkau akan kembali. Barangsiapa yang mengetahui bahwa dia adalah hamba Allah dan kepada Allah dia akan kembali, maka ketahuilah bahwa ia akan mati. Dan ketahuilah barangsiapa yang akan mati maka ia akan ditanya. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa ia akan ditanya maka bersiap-siaplah untuk menjawabnya."
"Lalu bagaimana cara kami mempersiapkannya?" tanya lelaki itu lagi.
"Penuhilah," jawab Fudhail bin Iyadh.
"Apa yang harus saya penuhi?" tanyanya.
Fudhail menjawab, "Perbaikilah amalan-amalanmu yang akan datang, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu di masa lalu dan yang akan datang. Tetapi jika engkau memperjelek amalan-amalanmu yang akan datang, niscaya Allah akan menyiksamu lantaran dosa-dosamu yang telah engkau perbuat di masa lalu dan yang akan datang."
Sekecil apa pun kesempatan untuk berbuat baik maka harus dilakukan, untuk menabung amal-amal shalih. Melakukan hal-hal yang bermanfaat dan membuang jauh apa yang tidak berguna. Selagi umur masih ada. Selagi waktu masih tersedia. Seringkali kesempatan itu tidak datang untuk kedua kalinya.
Lalu Fudhail berkata, "Sesungguhnya engkau telah enam puluh tahun menuju Rabb-mu dan kini kau hampir sampai." Lelaki itu berkata, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un. (Sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nya lah kita akan kembali)."
Mendengar ucapan lelaki itu, Fudhail kembali bertanya, "Tahukah engkau bagaimana tafsirnya?"
"Tafsirkan kepada kami wahai Abu Ali (panggilan Fudhail)," pinta lelaki itu.
"Jika engkau mengatakan, 'inna lillahi' berarti engkau mengikrarkan bahwa engkau adalah hamba Allah dan kepada Allah engkau akan kembali. Barangsiapa yang mengetahui bahwa dia adalah hamba Allah dan kepada Allah dia akan kembali, maka ketahuilah bahwa ia akan mati. Dan ketahuilah barangsiapa yang akan mati maka ia akan ditanya. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa ia akan ditanya maka bersiap-siaplah untuk menjawabnya."
"Lalu bagaimana cara kami mempersiapkannya?" tanya lelaki itu lagi.
"Penuhilah," jawab Fudhail bin Iyadh.
"Apa yang harus saya penuhi?" tanyanya.
Fudhail menjawab, "Perbaikilah amalan-amalanmu yang akan datang, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu di masa lalu dan yang akan datang. Tetapi jika engkau memperjelek amalan-amalanmu yang akan datang, niscaya Allah akan menyiksamu lantaran dosa-dosamu yang telah engkau perbuat di masa lalu dan yang akan datang."
Sekecil apa pun kesempatan untuk berbuat baik maka harus dilakukan, untuk menabung amal-amal shalih. Melakukan hal-hal yang bermanfaat dan membuang jauh apa yang tidak berguna. Selagi umur masih ada. Selagi waktu masih tersedia. Seringkali kesempatan itu tidak datang untuk kedua kalinya.
LENTERA
29. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
"Allah SWT telah membuat tiga sungai untuk membersihkan tubuh orang-orang yang berdosa. Jika ketiga sungai itu belum cukup maka Allah akan membersihkannya di Sungai Jahannam. Ketiga sungai itu adalah: pertama, sungai taubatan nasuha yaitu melepaskan segala perbuatan dosa dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Kedua, sungai hasanat yaitu kebaikan-kebaikan yang akan mengubur semua bentuk keburukan. Dan ketiga, sungai mushibah azhimah yaitu bencana atau ujian yang besar yang akan melebur setiap dosa. Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba-Nya, Ia akan memasukkannya ke dalam salah satu sungai tersebut, hingga ia akan datang kepada-Nya di Hari Kiamat dengan tubuh yang suci dan bersih dan tidak perlu dimandikan di Sungai Jahannam."
28. HR. Bukhary
"Dari Al Ahnaf bin Qais: Aku pergi untuk membantu lelaki itu (Ali r.a.), dan di perjalanan aku bertemu Abu Bakar yang bertanya kepadaku, 'Ke mana engkau hendak pergi?' Aku menjawab, 'Aku hendak pergi untuk membantu lelaki itu.' Ia berkata, 'Kembalilah, sebab aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Bila dua orang muslim bertemu dengan pedang mereka, maka (keduanya) si pembunuh dan yang terbunuh akan berada di Neraka.' Aku berkata, 'Ya Rasulullah! Tidak mengapa untuk si pembunuh, namun bagaimana dengan yang terbunuh?' Beliau berkata, 'Yang terbunuh telah memiliki hasrat untuk membunuh lawannya.''"
27. HR. Bukhary
"Dari Aisyah r.a.: Beberapa orang bertanya kepada Rasulullah mengenai peramal. Beliau bersabda, 'Mereka bukanlah apa-apa.' Mereka berkata, 'Ya Rasulullah! Beberapa dari perkataan mereka benar-benar terjadi.' Rasulullah berkata, 'Perkataan tersebut yang benar-benar terjadi adalah apa yang ditangkap sebagian oleh jin dengan diam-diam (dari langit) dan menuangkannya ke dalam telinga teman mereka (si peramal) dengan suara seperti ayam betina berkotek. Kemudian si peramal meramu perkataan tersebut dengan seratus kebohongan.' "
26. HR. Bukhary
"Rasulullah berkata: Selama engkau tidur, setan mengikat tiga ikatan di bagian belakang kepala masing-masing dirimu. Di tiap ikatannya ia membacakan dan menghembuskan kata-kata berikut, ‘Malam hari masih panjang untukmu, maka tidurlah kembali.’ Ketika orang tersebut bangun dan mengingat Allah, salah satu ikatan terlepas; dan ketika ia berwudhu, ikatan yang kedua terlepas, dan ketika ia melakukan sholat, ikatan ketiga terlepas dan ia bangun dengan penuh semangat dalam cara yang baik dan dengan hati yang baik di pagi hari; sebaliknya ia akan bangun dalam cara yang buruk, rasa malas (dan tidak dengan hati yang baik)."
25. HR. Bukhary
"Dari Aishah r.a.: Rasulullah bersabda, “Ketika seorang wanita memberikan makanan sebagai sedekah karena Allah tanpa mengganggu harta suaminya, ia akan mendapatkan ganjaran untuk apa yang ia lakukan; dan suaminya pun akan mendapatkan ganjaran untuk apa yang ia miliki dan si penerima amanat (yang dipercaya untuk menyalurkan) pun mendapatkan ganjaran yang sama.”"
24. HR. Bukhary
"Dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah berkata, “Ada tiga macam orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada Hari Kebangkitan, dan Allah tidak akan membersihkan mereka dari dosa, dan mereka akan mendapatkan adzab yang menyakitkan. Mereka adalah: (1) Seseorang yang memiliki air dengan jumlah yang berlebihan (dari yang ia butuhkan) dan ia tidak memberikannya pada para musafir. (2) Seseorang yang berbaiat kepada seorang imam dan memberikan baiatnya hanya untuk kesenangan duniawi; apabila imam tersebut memberikan apa yang ia inginkan, ia menjalankan baiatnya, namun bila tidak maka ia melanggar baiatnya. (3) Seseorang yang menjual sesuatu kepada orang lain setelah waktu ashar dan bersumpah dengan nama Allah (dengan sumpah palsu) bahwa orang lain telah menawar barang yang ia miliki dengan harga tinggi dan si pembeli mempercayainya kemudian membeli barang tersebut, padahal ia tidak ditawarkan apapun untuk barang tersebut.”"
23. HR. Bukhary
"Dari Anas bin Malik r.a.: Ummu Haram berkata, “Suatu kali Rasulullah menginap di rumahku dan tidur di dekatku kemudian bangun dan tersenyum. Aku berkata, “Apa yang telah membuatmu tersenyum” Beliau menjawab, “Beberapa di antara pengikutku kulihat (dalam mimpi) sedang berlayar di lautan hijau seperti raja-raja yang duduk di singgasananya.” Aku berkata, “Ya Rasulullah! Mohonlah pada Allah untuk menjadikanku bagian dari mereka.” Maka Rasulullah pun memohon pada Allah untuknya dan tidur kembali. Lalu beliau kembali bangun dan menceritakan mimpinya dan Ummu Haram mengulangi permintaannya dan beliau menjawab dengan hal yang sama. Ia (Ummu Haram) berkata, “Mohonlah pada Allah untuk menjadikanku bagian dari mereka” Beliau berkata, “Engkau berada di antara kelompok yang pertama.” Selanjutnya, terjadi peristiwa dimana Ummu Haram pergi bersama sebuah rombongan suaminya, Ubada bin Samit, yang pergi untuk berjihad, dan itu adalah kali pertama saat kaum muslimin melakukan ekspedisi kelautan yang dipimpin oleh Mu’awiyah. Ketika ekspedisi tersebut akan berakhir dan mereka akan kembali ke Syam, sebuah hewan tunggangan diberikan padanya (Ummu Haram), namun ia terjatuh dari hewan tunggangan tersebut dan ia pun wafat. "
22. HR. Bukhary
"Dari Abu Sa’id (Al Khudri): Seorang wanita mendatangi Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah! Kami (hanya) mendapatkan manfaat dari apa yang engkau ajarkan, maka berikanlah kepada kami waktumu, satu hari dimana kami dapat menemuimu agar engkau dapat mengajarkan kami apa yang telah Allah ajarkan padamu.” Rasulullah berkata, “Berkumpullah kalian pada suatu waktu dan pada suatu tempat .” Mereka pun berkumpul (pada waktu dan tempat yang telah ditentukan) kemudian Rasulullah menemui mereka dan mengajarkan mereka apa yang telah Allah ajarkan padanya. Beliau kemudian berkata, “Tidak ada seorang wanita pun di antara kamu yang telah ditinggalkan oleh tiga orang anaknya (yang mati sebelum berumur baligh) kecuali mereka akan menghindarkannya (wanita tersebut) dari api (neraka).” Seorang wanita di antara mereka berkata, “Ya Rasulullah! Bagaimana bila ia kehilangan dua orang anaknya” Wanita itu mengulangi pertanyaannya dua kali, dan kemudian Rasulullah berkata, “Walaupun hanya dua, walaupun hanya dua, walaupun hanya dua!”"
21.
(HR. Bukhary
"Dari Abu Hurairah r.a.: Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah (sebagai tamu), kemudian beliau mengutus seseorang untuk menemui istri-istrinya (untuk membawakan sesuatu yang bisa dimakan oleh laki-laki itu) tetapi mereka mengatakan bahwa mereka tak memiliki suatu apapun kecuali air untuk minum. Lalu Rasullah berkata, “Siapa yang bersedia untuk mengajak laki-laki ini, atau menjamunya sebagai tamu” Seorang laki-laki dari kaum Anshar berkata, “Saya.” Kemudian ia membawa laki-laki tersebut ke hadapan istrinya dan berkata padanya, “Jamulah tamu Rasulullah ini dengan baik” Istrinya berkata, “Kita tidak memiliki apapun kecuali makanan untuk anak-anak kita.” Ia berkata, “Hidangkan makanan itu, nyalakan lampu dan tidurkan anak-anakmu apabila mereka meminta makan malam.” Lalu, istrinya pun menghidangkan makanan itu, menyalakan lampu dan menidurkan anak-anaknya, dan kemudian ia berdiri berpura-pura akan membetulkan lampu, tetapi ia memadamkannya. Kemudian mereka berdua (suami dan istri tersebut) berpura-pura ikut makan, tetapi sebenarnya mereka (tidak makan) lalu pergi tidur dalam keadaan lapar. Pagi harinya laki-laki dari Anshar itu menemui Rasulullah, dan Rasulullah berkata padanya, “Tadi malam Allah tertawa, atau terpesona dengan apa yang engkau lakukan.” Kemudian Allah berfirman : “…;dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. 59:9) "
20. HR. Bukhary
"Dari Anas r.a.: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah tentang Hari Pengadilan dan berkata “Kapankah saat itu datang” Rasulullah berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuknya” Laki-laki itu berkata, “Tidak ada, kecuali bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya” Rasulullah berkata, “Engkau akan berada bersama mereka yang engkau cintai” Kami tak pernah merasa begitu senang seperti saat kami mendengar perkataan Rasulullah, “Kamu akan berada bersama mereka yang kamu cintai” Oleh sebab itu, aku mencintai Rasulullah, Abu Bakr dan Umar, dan aku berharap bahwa aku dapat berada bersama mereka sebab kecintaanku pada mereka, walaupun apa yang telah aku perbuat tak sebanding dengan mereka."
19. QS. Ali Imran: 159
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."
18. Petikan Khutbah Rasulullah
"Wahai manusia! Sesungguhnya diri kalian tergadai karena amal-amal kalian, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban dosamu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu. Ketahuilah, Allah Swt bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang bersujud, tidak mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabbul’alamin."
17. QS. Al-Hujurat: 12
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
16. HR. Muslim
"Rasulullah SAW bersabda: Sungguh unik urusan seorang mukmin itu. Segala keadaannya adalah baik baginya. Dan itu tidak terjadi pada seseorang kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Tetapi jika ia mendapat kesulitan, ia bersabar, dan itu baik baginya."
15. Doa Muhammad bin Wasi
"Ya Allah sesungguhnya Engkau memberikan kuasa atas kami, musuh yang mengetahui kekurangan-kekurangan kami. Mereka dan kelompoknya melihat kami dari sisi yang kami tidak melihat mereka. Putus asakanlah mereka dari kami sebagaimana Engkau membuatnya putus asa dari rahmat-Mu. Jadikan mereka putus harapan dari kami sebagaimana Engkau membuatnya putus harapan dari maaf-Mu. Jauhkanlah kami dan mereka sebagaimana Engkau jauhkan mereka dari rahmat dan surga-Mu."
14. Muhammad bin Fadl Al-Balhi
"Sangat banyak orang yang mau bersusah payah mengarungi lautan, menuruni lembah dan melewati jurang hanya sekedar ingin melihat-lihat peninggalan para leluhurnya. Mengapa mereka tidak lebih bersusah payah untuk mengekang jiwanya dan memerangi hawa nafsunya agar bisa sampai ke dalam hatinya. Karena di dalam hati yang bersih, dia akan menemukan peninggalan Rabb-nya."
13. HR. Bukhary
"’Jika amanah disia-siakan maka tunggulah kehancuran.’ Para sahabat bertanya, ’Bagaimana amanah disia-siakan?’ Rasulullah SAW menjawab, ’Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran.’"
12. Imam Hasan Al-Bashri
"Suatu ketika Hasan Al-Bashri mengangkat pertanyaan di suatu majelis, ”Wahai para orang lanjut usia yang terhormat, apakah yang dinanti dari tanaman pertanian yang sudah tua?” Mereka menjawab, “Masa panen.” Lalu Hasan-Al-Bashri melemparkan pandangannya pada para pemuda dan berkata, “Wahai para pemuda yang kucintai, ingatlah adakalanya tanaman itu layu sebelum tua."
11. HR. Muslim
"Sebaik-baik pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian."
10. HR. Muslim
"Tidak ada seorang muslim yang tertimpa musibah, lalu mengucapkan doa yang diperintahkan Allah, yaitu, ’Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali, ya Allah, berikanlah pahala dalam musibahku ini, dan berikanlah ganti dengan yang lebih baik darinya,’ kecuali Allah SWT akan memberikan pahala kepadanya atas musibah yang menimpanya, dan akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya."
9. QS. At-Taubah: 23
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu menjadikan mereka pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
8. QS. Al-Hadid: 22-23
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu)supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."
7. QS. Al-Maaidah:51
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
6. Imam Al-Ghazali
"Yang paling dekat dengan diri kita adalah kematian, yang paling jauh dari diri kita adalah masa lalu, yang paling besar di dunia ini adalah nafsu, yang paling berat di dunia ini adalah amanah, yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan sholat, yang paling tajam di dunia ini adalah lidah manusia."
5. QS. Ash-Shaaffaat: 16-19
"Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan (kembali)? Dan apakah bapak-bapak kami yang telah terdahulu (akan dibangkitkan pula)? Katakanlah, ’Ya, dan kamu akan terhina’. Maka sesungguhnya kebangkitan itu hanya satu teriakan saja, maka tiba-tiba mereka melihatnya."
4. Pesan Ali bin Abi Thalib kepada Hasan setelah Ali ditikam
"Wahai putraku, hafalkan empat hal dariku: Janganlah kamu bersahabat dengan orang bodoh karena ia akan memanfaatkan dirimu dan itu akan membahayakanmu. Janganlah kamu bersahabat dengan seorang pendusta karena ia akan mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat kepadamu. Janganlah kamu bersahabat dengan orang yang bakhil karena ia akan mendiamkanmu pada saat engkau sangat membutuhkannya. Dan janganlah kamu bergaul dengan orang yang gemar melakukan dosa karena ia akan menjualmu dengan sesuatu yang sepele."
3. HR. Ibnu Majah
"Suatu hari Rasulullah SAW menjelaskan kepada para sahabat, “Sesungguhnya apabila Allah ingin membinasakan seseorang maka Allah cabut rasa malu dari diri orang itu. Bila telah tercabut rasa malu dari orang itu maka tidak engkau dapati orang itu kecuali sangat keras dan kasar. Bila begitu keadaannya maka akan dicabut rasa amanah dari orang itu. Lalu tidak engkau dapati ia kecuali sebagai pengkhianat. Kalau sudah begitu akan dicabut rasa kasih sayang dari dirinya. Maka tidak engkau dapati ia kecuali terkutuk. Kalau sudah begitu akan dicabut tali-tali Islam dari dirinya.”"
2. HR. Ibnu Majah
"Rasulullah SAW bersabda, 'Berusahalah mengejar apa-apa yang bermanfaat untuk dirimu. Janganlah engkau bersikap lemah. Bila engkau ditimpa sesuatu janganlah engkau berkata, 'seandainya aku berbuat begini atau begitu,' tetapi katakan, 'segalanya adalah telah Allah tentukan. Apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan.' Karena sesungguhnya kata-kata 'seandainya' itu bisa membuka pintu syetan."
1. QS. Al-Ashr: 1-3
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beramal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran."
"Allah SWT telah membuat tiga sungai untuk membersihkan tubuh orang-orang yang berdosa. Jika ketiga sungai itu belum cukup maka Allah akan membersihkannya di Sungai Jahannam. Ketiga sungai itu adalah: pertama, sungai taubatan nasuha yaitu melepaskan segala perbuatan dosa dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Kedua, sungai hasanat yaitu kebaikan-kebaikan yang akan mengubur semua bentuk keburukan. Dan ketiga, sungai mushibah azhimah yaitu bencana atau ujian yang besar yang akan melebur setiap dosa. Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba-Nya, Ia akan memasukkannya ke dalam salah satu sungai tersebut, hingga ia akan datang kepada-Nya di Hari Kiamat dengan tubuh yang suci dan bersih dan tidak perlu dimandikan di Sungai Jahannam."
28. HR. Bukhary
"Dari Al Ahnaf bin Qais: Aku pergi untuk membantu lelaki itu (Ali r.a.), dan di perjalanan aku bertemu Abu Bakar yang bertanya kepadaku, 'Ke mana engkau hendak pergi?' Aku menjawab, 'Aku hendak pergi untuk membantu lelaki itu.' Ia berkata, 'Kembalilah, sebab aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Bila dua orang muslim bertemu dengan pedang mereka, maka (keduanya) si pembunuh dan yang terbunuh akan berada di Neraka.' Aku berkata, 'Ya Rasulullah! Tidak mengapa untuk si pembunuh, namun bagaimana dengan yang terbunuh?' Beliau berkata, 'Yang terbunuh telah memiliki hasrat untuk membunuh lawannya.''"
27. HR. Bukhary
"Dari Aisyah r.a.: Beberapa orang bertanya kepada Rasulullah mengenai peramal. Beliau bersabda, 'Mereka bukanlah apa-apa.' Mereka berkata, 'Ya Rasulullah! Beberapa dari perkataan mereka benar-benar terjadi.' Rasulullah berkata, 'Perkataan tersebut yang benar-benar terjadi adalah apa yang ditangkap sebagian oleh jin dengan diam-diam (dari langit) dan menuangkannya ke dalam telinga teman mereka (si peramal) dengan suara seperti ayam betina berkotek. Kemudian si peramal meramu perkataan tersebut dengan seratus kebohongan.' "
26. HR. Bukhary
"Rasulullah berkata: Selama engkau tidur, setan mengikat tiga ikatan di bagian belakang kepala masing-masing dirimu. Di tiap ikatannya ia membacakan dan menghembuskan kata-kata berikut, ‘Malam hari masih panjang untukmu, maka tidurlah kembali.’ Ketika orang tersebut bangun dan mengingat Allah, salah satu ikatan terlepas; dan ketika ia berwudhu, ikatan yang kedua terlepas, dan ketika ia melakukan sholat, ikatan ketiga terlepas dan ia bangun dengan penuh semangat dalam cara yang baik dan dengan hati yang baik di pagi hari; sebaliknya ia akan bangun dalam cara yang buruk, rasa malas (dan tidak dengan hati yang baik)."
25. HR. Bukhary
"Dari Aishah r.a.: Rasulullah bersabda, “Ketika seorang wanita memberikan makanan sebagai sedekah karena Allah tanpa mengganggu harta suaminya, ia akan mendapatkan ganjaran untuk apa yang ia lakukan; dan suaminya pun akan mendapatkan ganjaran untuk apa yang ia miliki dan si penerima amanat (yang dipercaya untuk menyalurkan) pun mendapatkan ganjaran yang sama.”"
24. HR. Bukhary
"Dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah berkata, “Ada tiga macam orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada Hari Kebangkitan, dan Allah tidak akan membersihkan mereka dari dosa, dan mereka akan mendapatkan adzab yang menyakitkan. Mereka adalah: (1) Seseorang yang memiliki air dengan jumlah yang berlebihan (dari yang ia butuhkan) dan ia tidak memberikannya pada para musafir. (2) Seseorang yang berbaiat kepada seorang imam dan memberikan baiatnya hanya untuk kesenangan duniawi; apabila imam tersebut memberikan apa yang ia inginkan, ia menjalankan baiatnya, namun bila tidak maka ia melanggar baiatnya. (3) Seseorang yang menjual sesuatu kepada orang lain setelah waktu ashar dan bersumpah dengan nama Allah (dengan sumpah palsu) bahwa orang lain telah menawar barang yang ia miliki dengan harga tinggi dan si pembeli mempercayainya kemudian membeli barang tersebut, padahal ia tidak ditawarkan apapun untuk barang tersebut.”"
23. HR. Bukhary
"Dari Anas bin Malik r.a.: Ummu Haram berkata, “Suatu kali Rasulullah menginap di rumahku dan tidur di dekatku kemudian bangun dan tersenyum. Aku berkata, “Apa yang telah membuatmu tersenyum” Beliau menjawab, “Beberapa di antara pengikutku kulihat (dalam mimpi) sedang berlayar di lautan hijau seperti raja-raja yang duduk di singgasananya.” Aku berkata, “Ya Rasulullah! Mohonlah pada Allah untuk menjadikanku bagian dari mereka.” Maka Rasulullah pun memohon pada Allah untuknya dan tidur kembali. Lalu beliau kembali bangun dan menceritakan mimpinya dan Ummu Haram mengulangi permintaannya dan beliau menjawab dengan hal yang sama. Ia (Ummu Haram) berkata, “Mohonlah pada Allah untuk menjadikanku bagian dari mereka” Beliau berkata, “Engkau berada di antara kelompok yang pertama.” Selanjutnya, terjadi peristiwa dimana Ummu Haram pergi bersama sebuah rombongan suaminya, Ubada bin Samit, yang pergi untuk berjihad, dan itu adalah kali pertama saat kaum muslimin melakukan ekspedisi kelautan yang dipimpin oleh Mu’awiyah. Ketika ekspedisi tersebut akan berakhir dan mereka akan kembali ke Syam, sebuah hewan tunggangan diberikan padanya (Ummu Haram), namun ia terjatuh dari hewan tunggangan tersebut dan ia pun wafat. "
22. HR. Bukhary
"Dari Abu Sa’id (Al Khudri): Seorang wanita mendatangi Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah! Kami (hanya) mendapatkan manfaat dari apa yang engkau ajarkan, maka berikanlah kepada kami waktumu, satu hari dimana kami dapat menemuimu agar engkau dapat mengajarkan kami apa yang telah Allah ajarkan padamu.” Rasulullah berkata, “Berkumpullah kalian pada suatu waktu dan pada suatu tempat .” Mereka pun berkumpul (pada waktu dan tempat yang telah ditentukan) kemudian Rasulullah menemui mereka dan mengajarkan mereka apa yang telah Allah ajarkan padanya. Beliau kemudian berkata, “Tidak ada seorang wanita pun di antara kamu yang telah ditinggalkan oleh tiga orang anaknya (yang mati sebelum berumur baligh) kecuali mereka akan menghindarkannya (wanita tersebut) dari api (neraka).” Seorang wanita di antara mereka berkata, “Ya Rasulullah! Bagaimana bila ia kehilangan dua orang anaknya” Wanita itu mengulangi pertanyaannya dua kali, dan kemudian Rasulullah berkata, “Walaupun hanya dua, walaupun hanya dua, walaupun hanya dua!”"
21.
(HR. Bukhary
"Dari Abu Hurairah r.a.: Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah (sebagai tamu), kemudian beliau mengutus seseorang untuk menemui istri-istrinya (untuk membawakan sesuatu yang bisa dimakan oleh laki-laki itu) tetapi mereka mengatakan bahwa mereka tak memiliki suatu apapun kecuali air untuk minum. Lalu Rasullah berkata, “Siapa yang bersedia untuk mengajak laki-laki ini, atau menjamunya sebagai tamu” Seorang laki-laki dari kaum Anshar berkata, “Saya.” Kemudian ia membawa laki-laki tersebut ke hadapan istrinya dan berkata padanya, “Jamulah tamu Rasulullah ini dengan baik” Istrinya berkata, “Kita tidak memiliki apapun kecuali makanan untuk anak-anak kita.” Ia berkata, “Hidangkan makanan itu, nyalakan lampu dan tidurkan anak-anakmu apabila mereka meminta makan malam.” Lalu, istrinya pun menghidangkan makanan itu, menyalakan lampu dan menidurkan anak-anaknya, dan kemudian ia berdiri berpura-pura akan membetulkan lampu, tetapi ia memadamkannya. Kemudian mereka berdua (suami dan istri tersebut) berpura-pura ikut makan, tetapi sebenarnya mereka (tidak makan) lalu pergi tidur dalam keadaan lapar. Pagi harinya laki-laki dari Anshar itu menemui Rasulullah, dan Rasulullah berkata padanya, “Tadi malam Allah tertawa, atau terpesona dengan apa yang engkau lakukan.” Kemudian Allah berfirman : “…;dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. 59:9) "
20. HR. Bukhary
"Dari Anas r.a.: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah tentang Hari Pengadilan dan berkata “Kapankah saat itu datang” Rasulullah berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuknya” Laki-laki itu berkata, “Tidak ada, kecuali bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya” Rasulullah berkata, “Engkau akan berada bersama mereka yang engkau cintai” Kami tak pernah merasa begitu senang seperti saat kami mendengar perkataan Rasulullah, “Kamu akan berada bersama mereka yang kamu cintai” Oleh sebab itu, aku mencintai Rasulullah, Abu Bakr dan Umar, dan aku berharap bahwa aku dapat berada bersama mereka sebab kecintaanku pada mereka, walaupun apa yang telah aku perbuat tak sebanding dengan mereka."
19. QS. Ali Imran: 159
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."
18. Petikan Khutbah Rasulullah
"Wahai manusia! Sesungguhnya diri kalian tergadai karena amal-amal kalian, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban dosamu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu. Ketahuilah, Allah Swt bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang bersujud, tidak mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabbul’alamin."
17. QS. Al-Hujurat: 12
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
16. HR. Muslim
"Rasulullah SAW bersabda: Sungguh unik urusan seorang mukmin itu. Segala keadaannya adalah baik baginya. Dan itu tidak terjadi pada seseorang kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Tetapi jika ia mendapat kesulitan, ia bersabar, dan itu baik baginya."
15. Doa Muhammad bin Wasi
"Ya Allah sesungguhnya Engkau memberikan kuasa atas kami, musuh yang mengetahui kekurangan-kekurangan kami. Mereka dan kelompoknya melihat kami dari sisi yang kami tidak melihat mereka. Putus asakanlah mereka dari kami sebagaimana Engkau membuatnya putus asa dari rahmat-Mu. Jadikan mereka putus harapan dari kami sebagaimana Engkau membuatnya putus harapan dari maaf-Mu. Jauhkanlah kami dan mereka sebagaimana Engkau jauhkan mereka dari rahmat dan surga-Mu."
14. Muhammad bin Fadl Al-Balhi
"Sangat banyak orang yang mau bersusah payah mengarungi lautan, menuruni lembah dan melewati jurang hanya sekedar ingin melihat-lihat peninggalan para leluhurnya. Mengapa mereka tidak lebih bersusah payah untuk mengekang jiwanya dan memerangi hawa nafsunya agar bisa sampai ke dalam hatinya. Karena di dalam hati yang bersih, dia akan menemukan peninggalan Rabb-nya."
13. HR. Bukhary
"’Jika amanah disia-siakan maka tunggulah kehancuran.’ Para sahabat bertanya, ’Bagaimana amanah disia-siakan?’ Rasulullah SAW menjawab, ’Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran.’"
12. Imam Hasan Al-Bashri
"Suatu ketika Hasan Al-Bashri mengangkat pertanyaan di suatu majelis, ”Wahai para orang lanjut usia yang terhormat, apakah yang dinanti dari tanaman pertanian yang sudah tua?” Mereka menjawab, “Masa panen.” Lalu Hasan-Al-Bashri melemparkan pandangannya pada para pemuda dan berkata, “Wahai para pemuda yang kucintai, ingatlah adakalanya tanaman itu layu sebelum tua."
11. HR. Muslim
"Sebaik-baik pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian."
10. HR. Muslim
"Tidak ada seorang muslim yang tertimpa musibah, lalu mengucapkan doa yang diperintahkan Allah, yaitu, ’Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali, ya Allah, berikanlah pahala dalam musibahku ini, dan berikanlah ganti dengan yang lebih baik darinya,’ kecuali Allah SWT akan memberikan pahala kepadanya atas musibah yang menimpanya, dan akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya."
9. QS. At-Taubah: 23
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu menjadikan mereka pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
8. QS. Al-Hadid: 22-23
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu)supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."
7. QS. Al-Maaidah:51
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
6. Imam Al-Ghazali
"Yang paling dekat dengan diri kita adalah kematian, yang paling jauh dari diri kita adalah masa lalu, yang paling besar di dunia ini adalah nafsu, yang paling berat di dunia ini adalah amanah, yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan sholat, yang paling tajam di dunia ini adalah lidah manusia."
5. QS. Ash-Shaaffaat: 16-19
"Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan (kembali)? Dan apakah bapak-bapak kami yang telah terdahulu (akan dibangkitkan pula)? Katakanlah, ’Ya, dan kamu akan terhina’. Maka sesungguhnya kebangkitan itu hanya satu teriakan saja, maka tiba-tiba mereka melihatnya."
4. Pesan Ali bin Abi Thalib kepada Hasan setelah Ali ditikam
"Wahai putraku, hafalkan empat hal dariku: Janganlah kamu bersahabat dengan orang bodoh karena ia akan memanfaatkan dirimu dan itu akan membahayakanmu. Janganlah kamu bersahabat dengan seorang pendusta karena ia akan mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat kepadamu. Janganlah kamu bersahabat dengan orang yang bakhil karena ia akan mendiamkanmu pada saat engkau sangat membutuhkannya. Dan janganlah kamu bergaul dengan orang yang gemar melakukan dosa karena ia akan menjualmu dengan sesuatu yang sepele."
3. HR. Ibnu Majah
"Suatu hari Rasulullah SAW menjelaskan kepada para sahabat, “Sesungguhnya apabila Allah ingin membinasakan seseorang maka Allah cabut rasa malu dari diri orang itu. Bila telah tercabut rasa malu dari orang itu maka tidak engkau dapati orang itu kecuali sangat keras dan kasar. Bila begitu keadaannya maka akan dicabut rasa amanah dari orang itu. Lalu tidak engkau dapati ia kecuali sebagai pengkhianat. Kalau sudah begitu akan dicabut rasa kasih sayang dari dirinya. Maka tidak engkau dapati ia kecuali terkutuk. Kalau sudah begitu akan dicabut tali-tali Islam dari dirinya.”"
2. HR. Ibnu Majah
"Rasulullah SAW bersabda, 'Berusahalah mengejar apa-apa yang bermanfaat untuk dirimu. Janganlah engkau bersikap lemah. Bila engkau ditimpa sesuatu janganlah engkau berkata, 'seandainya aku berbuat begini atau begitu,' tetapi katakan, 'segalanya adalah telah Allah tentukan. Apa yang Dia kehendaki pasti Dia lakukan.' Karena sesungguhnya kata-kata 'seandainya' itu bisa membuka pintu syetan."
1. QS. Al-Ashr: 1-3
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beramal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran."
KHALIFAH UMAR
Suatu ketika Umar bin Khattab sedang berkhotbah di masjid di kota Madinah tentang keadilan dalam pemerintahan Islam. Pada saat itu muncul seorang lelaki asing dalam masjid, sehingga Umar menghentikan khotbahnya sejenak, kemudian ia melanjutkan.
"Sesungguhnya seorang pemimpin itu diangkat dari antara kalian bukan dari bangsa lain. Pemimpin itu harus berbuat untuk kepentingan kalian, bukan untuk kepentingan dirinya, golongannya, dan bukan untuk menindas kaum lemah. Demi Allah, apabila ada di antara pemimpin dari kamu sekalian menindas yang lemah, maka kepada orang yang ditindas itu diberikan haknya untuk membalas pemimpin itu. Begitu pula jika seorang pemimpin di antara kamu sekalian menghina seseorang di hadapan umum, maka kepada orang itu harus diberikan haknya untuk membalas hal yang setimpal."
Selesai khalifah berkhotbah, tiba-tiba lelaki asing tadi bangkit seraya berkata; "Ya Amiirul Mu'minin, saya datang dari Mesir dengan menembus padang pasir yang luas dan tandus, serta menuruni lembah yang curam. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yakni ingin bertemu dengan Tuan."
"Katakanlah apa tujuanmu bertemu denganku," ujar Umar.
"Saya telah dihina di hadapan orang banyak oleh 'Amr bin 'Ash, gubernur Mesir. Dan sekarang saya akan menuntutnya dengan hukum yang sama."
"Ya saudaraku, benarkah apa yang telah engkau katakan itu?" tanya khalifah Umar ragu-ragu.
"Ya Amiirul Mu'minin, benar adanya."
"Baiklah, kepadamu aku berikan hak yang sama untuk menuntut balas. Tetapi, engkau harus mengajukan empat orang saksi, dan kepada 'Amr aku berikan dua orang pembela. Jika tidak ada yang membela gubernur, maka kau dapat melaksanakan balasan dengan memukulnya 40 kali."
"Baik ya Amiirul Mu'minin. Akan saya laksanakan semua itu," jawab orang itu seraya berlalu. Ia langsung kembali ke Mesir untuk menemui gubernur Mesir 'Amr bin 'Ash.
Ketika sampai ia langsung mengutarakan maksud dan keperluannya.
"Ya 'Amr, sesungguhnya seorang pemimpin diangkat oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Dia diangkat bukan untuk golongannya, bukan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, dan bukan pula untuk menindas yang lemah dan mengambil hak yang bukan miliknya. Khalifar Umar telah memberi izin kepada saya untuk memperoleh hak saya di muka umum."
"Apakah kamu akan menuntut gubernur?" tanya salah seorang yang hadir.
"Ya, demi kebenaran akan saya tuntut dia," jawab lelaki itu tegas.
"Tetapi, dia kan gubernur kita?"
"Seandainya yang menghina itu Amiirul Mu'minin, saya juga akan menuntutnya."
"Ya, saudara-saudaraku. Demi Allah, aku minta kepada kalian yang mendengar dan melihat kejadian itu agar berdiri."
Maka banyaklah yang berdiri.
"Apakah kamu akan memukul gubernur?" tanya mereka.
"Ya, demi Allah saya akan memukul dia sebanyak 40 kali."
"Tukar saja dengan uang sebagai pengganti pukulan itu."
"Tidak, walaupun seluruh masjid ini berisi perhiasan aku tidak akan melepaskan hak itu," jawabnya .
"Baiklah, mungkin engkau lebih suka demi kebaikan nama gubernur kita, di antara kami mau jadi penggantinya," bujuk mereka. "Saya tidak suka pengganti."
"Kau memang keras kepala, tidak mendengar dan tidak suka usulan kami sedikit pun."
"Demi Allah, umat Islam tidak akan maju bila terus begini. Mereka membela pemimpinnya yang salah dengan gigih karena khawatir akan dihukum," ujarnya seraya meninggalkan tempat.
'Amr bin'Ash serta merta menyuruh anak buahnya untuk memanggil orang itu. Ia menyadari hukuman Allah di akhirat tetap akan menimpanya walaupun ia selamat di dunia.
"Ini rotan, ambillah! Laksanakanlah hakmu," kata gubernur 'Amr bin 'Ash sambil membungkukkan badannya siap menerima hukuman balasan.
"Apakah dengan kedudukanmu sekarang ini engkau merasa mampu untuk menghindari hukuman ini?" tanya lelaki itu.
"Tidak, jalankan saja keinginanmu itu," jawab gubernur.
"Tidak, sekarang aku memaafkanmu," kata lelaki itu seraya memeluk gubernur Mesir itu sebagai tanda persaudaraan. Dan rotan pun ia lemparkan.
"Sesungguhnya seorang pemimpin itu diangkat dari antara kalian bukan dari bangsa lain. Pemimpin itu harus berbuat untuk kepentingan kalian, bukan untuk kepentingan dirinya, golongannya, dan bukan untuk menindas kaum lemah. Demi Allah, apabila ada di antara pemimpin dari kamu sekalian menindas yang lemah, maka kepada orang yang ditindas itu diberikan haknya untuk membalas pemimpin itu. Begitu pula jika seorang pemimpin di antara kamu sekalian menghina seseorang di hadapan umum, maka kepada orang itu harus diberikan haknya untuk membalas hal yang setimpal."
Selesai khalifah berkhotbah, tiba-tiba lelaki asing tadi bangkit seraya berkata; "Ya Amiirul Mu'minin, saya datang dari Mesir dengan menembus padang pasir yang luas dan tandus, serta menuruni lembah yang curam. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yakni ingin bertemu dengan Tuan."
"Katakanlah apa tujuanmu bertemu denganku," ujar Umar.
"Saya telah dihina di hadapan orang banyak oleh 'Amr bin 'Ash, gubernur Mesir. Dan sekarang saya akan menuntutnya dengan hukum yang sama."
"Ya saudaraku, benarkah apa yang telah engkau katakan itu?" tanya khalifah Umar ragu-ragu.
"Ya Amiirul Mu'minin, benar adanya."
"Baiklah, kepadamu aku berikan hak yang sama untuk menuntut balas. Tetapi, engkau harus mengajukan empat orang saksi, dan kepada 'Amr aku berikan dua orang pembela. Jika tidak ada yang membela gubernur, maka kau dapat melaksanakan balasan dengan memukulnya 40 kali."
"Baik ya Amiirul Mu'minin. Akan saya laksanakan semua itu," jawab orang itu seraya berlalu. Ia langsung kembali ke Mesir untuk menemui gubernur Mesir 'Amr bin 'Ash.
Ketika sampai ia langsung mengutarakan maksud dan keperluannya.
"Ya 'Amr, sesungguhnya seorang pemimpin diangkat oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Dia diangkat bukan untuk golongannya, bukan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, dan bukan pula untuk menindas yang lemah dan mengambil hak yang bukan miliknya. Khalifar Umar telah memberi izin kepada saya untuk memperoleh hak saya di muka umum."
"Apakah kamu akan menuntut gubernur?" tanya salah seorang yang hadir.
"Ya, demi kebenaran akan saya tuntut dia," jawab lelaki itu tegas.
"Tetapi, dia kan gubernur kita?"
"Seandainya yang menghina itu Amiirul Mu'minin, saya juga akan menuntutnya."
"Ya, saudara-saudaraku. Demi Allah, aku minta kepada kalian yang mendengar dan melihat kejadian itu agar berdiri."
Maka banyaklah yang berdiri.
"Apakah kamu akan memukul gubernur?" tanya mereka.
"Ya, demi Allah saya akan memukul dia sebanyak 40 kali."
"Tukar saja dengan uang sebagai pengganti pukulan itu."
"Tidak, walaupun seluruh masjid ini berisi perhiasan aku tidak akan melepaskan hak itu," jawabnya .
"Baiklah, mungkin engkau lebih suka demi kebaikan nama gubernur kita, di antara kami mau jadi penggantinya," bujuk mereka. "Saya tidak suka pengganti."
"Kau memang keras kepala, tidak mendengar dan tidak suka usulan kami sedikit pun."
"Demi Allah, umat Islam tidak akan maju bila terus begini. Mereka membela pemimpinnya yang salah dengan gigih karena khawatir akan dihukum," ujarnya seraya meninggalkan tempat.
'Amr bin'Ash serta merta menyuruh anak buahnya untuk memanggil orang itu. Ia menyadari hukuman Allah di akhirat tetap akan menimpanya walaupun ia selamat di dunia.
"Ini rotan, ambillah! Laksanakanlah hakmu," kata gubernur 'Amr bin 'Ash sambil membungkukkan badannya siap menerima hukuman balasan.
"Apakah dengan kedudukanmu sekarang ini engkau merasa mampu untuk menghindari hukuman ini?" tanya lelaki itu.
"Tidak, jalankan saja keinginanmu itu," jawab gubernur.
"Tidak, sekarang aku memaafkanmu," kata lelaki itu seraya memeluk gubernur Mesir itu sebagai tanda persaudaraan. Dan rotan pun ia lemparkan.
KISAH 3 PEMUDA
Ketika tiga orang pemuda sedang bepergian, mereka tertahan oleh hujan dan mereka berlindung di dalam sebuah gua pada sebuah gunung. Sebongkah besar batu jatuh dari gunung melewati mulut gua tersebut dan menutupnya. Mereka berkata satu sama lain, 'Pikirkanlah perbuatan baik yang pernah engkau lakukan di jalan Allah, dan berdoalah kepada Allah dengan menyertakan perbuatan-perbuatan itu sehingga Allah akan membebaskanmu dari kesulitan yang kau hadapi.' Salah satu di antara mereka berkata, 'Ya Allah! Aku memiliki kedua orang tua yang telah tua renta, dan aku memiliki anak-anak yang masih kecil yang aku telah memberikan susu yang aku miliki kepada kedua orang tuaku terlebih dulu sebelum memberikannya kepada anak-anakku. Suatu hari, aku pergi jauh untuk mencari tempat merumput (bagi domba-dombaku), dan tidak kembali ke rumah hingga larut malam dan menemukan kedua orangtuaku sedang tidur. Aku mengisi persediaan makanan dengan susu seperti biasanya dan membawa bejana susu tersebut serta meletakkannya di atas kepala mereka, dan aku tidak ingin membangunkan mereka dari tidurnya, dan aku pun tidak ingin memberikan susu tersebut kepada anak-anakku sebelum orang tuaku, walaupun anak-anakku sedang menangis (kelaparan) di bawah kakiku. Maka keadaanku dan mereka tersebut berlanjut sampai dini hari. (Ya Allah!) Apabila Engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan semata-mata hanya karena Engkau, maka tolonglah bukakan sebuah lubang agar kami dapat melihat langit.' Maka Allah membukakan untuk mereka sebuah lubang yang dengannya mereka dapat melihat langit.
Kemudian pemuda yang kedua berkata, 'Ya Allah! Aku memiliki seorang saudara sepupu yang aku cintai seperti halnya gairah seorang pria mencintai seorang wanita. Aku telah mencoba merayunya tetapi ia menolak hingga aku membayarnya sebanyak seratus dinar. Maka aku pun bekerja keras sampai dapat mengumpulkan seratus dinar dan aku pergi menemuinya dengan uang itu. Namun ketika aku duduk di antara kedua kakinya (untuk melakukan hubungan seksual dengannya), ia berkata: Wahai hamba Allah! Takutlah kepada Allah! Jangan merusakku kecuali dengan cara yang sah (dengan perkawinan)! Maka aku pun meninggalkannya. Ya Allah! Apabila Engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan demi Engkau semata, maka biarkanlah batu tersebut bergerak sedikit lagi untuk mendapatkan lubang yang lebih besar.' Maka Allah menggeser batu tersebut untuk menjadi lubang yang lebih besar.
Dan pemuda yang terakhir (ketiga) berkata, ‘Ya Allah! Aku mempekerjakan seorang budak dengan upah sebanding dengan satu Faraq beras, dan ketika ia telah selesai dengan tugasnya, ia meminta upah, tetapi ketika aku memberikan upah kepadanya, ia menyerah dan menolak untuk menerimanya. Kemudian aku tetap memberikan beras tersebut kepadanya (beberapa kali) hingga aku dapat membeli dengan harga hasil produksi, beberapa ekor sapi dan gembalanya. Setelah itu, budak tersebut datang kepadaku dan berkata: (Wahai hamba Allah!) Takutlah kepada Allah, dan jangan berbuat tidak adil kepadaku dan berikanlah upahku. Aku berkata (padanya): Pergilah dan ambillah sapi-sapi itu beserta gembalanya. Maka ia pun mengambilnya dan pergi. (Maka, Ya Allah!) Apabila Engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan semata-mata demi Engkau, maka geserlah bagian yang tersisa dari batu tersebut.’ Maka kemudian Allah membebaskan mereka (dari kesulitannya) dan batu tersebut telah berpindah seluruhnya dari mulut gua tersebut.
Kemudian pemuda yang kedua berkata, 'Ya Allah! Aku memiliki seorang saudara sepupu yang aku cintai seperti halnya gairah seorang pria mencintai seorang wanita. Aku telah mencoba merayunya tetapi ia menolak hingga aku membayarnya sebanyak seratus dinar. Maka aku pun bekerja keras sampai dapat mengumpulkan seratus dinar dan aku pergi menemuinya dengan uang itu. Namun ketika aku duduk di antara kedua kakinya (untuk melakukan hubungan seksual dengannya), ia berkata: Wahai hamba Allah! Takutlah kepada Allah! Jangan merusakku kecuali dengan cara yang sah (dengan perkawinan)! Maka aku pun meninggalkannya. Ya Allah! Apabila Engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan demi Engkau semata, maka biarkanlah batu tersebut bergerak sedikit lagi untuk mendapatkan lubang yang lebih besar.' Maka Allah menggeser batu tersebut untuk menjadi lubang yang lebih besar.
Dan pemuda yang terakhir (ketiga) berkata, ‘Ya Allah! Aku mempekerjakan seorang budak dengan upah sebanding dengan satu Faraq beras, dan ketika ia telah selesai dengan tugasnya, ia meminta upah, tetapi ketika aku memberikan upah kepadanya, ia menyerah dan menolak untuk menerimanya. Kemudian aku tetap memberikan beras tersebut kepadanya (beberapa kali) hingga aku dapat membeli dengan harga hasil produksi, beberapa ekor sapi dan gembalanya. Setelah itu, budak tersebut datang kepadaku dan berkata: (Wahai hamba Allah!) Takutlah kepada Allah, dan jangan berbuat tidak adil kepadaku dan berikanlah upahku. Aku berkata (padanya): Pergilah dan ambillah sapi-sapi itu beserta gembalanya. Maka ia pun mengambilnya dan pergi. (Maka, Ya Allah!) Apabila Engkau menganggapnya sebagai perbuatan yang kulakukan semata-mata demi Engkau, maka geserlah bagian yang tersisa dari batu tersebut.’ Maka kemudian Allah membebaskan mereka (dari kesulitannya) dan batu tersebut telah berpindah seluruhnya dari mulut gua tersebut.
KEZUHUDAN SANG KALIFAH
Jangankan untuk korupsi, mengambil sesuatu yang menjadi haknya sendiri saja, beliau enggan melakukannya. Itulah Khalifah Umar bin Khatthab, yang terkenal kezuhudannya. Meski beliau berposisi sebagai kepala negara atau amirul mukminin, beliau tak pernah tergiur dengan gemerlapnya harta benda.
Ketika menerima utusan dari negara-negara di jazirah Arab yang telah ditaklukkan, beliau menyambutnya dengan mengenakan satu- satunya jubah beliau yang penuh tambalan yang lusuh. Berapa tambalannya?. Tambalannya ada di 12 tempat.
Sebagai pengganti Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, mestinya beliau berhak mendapatkan gaji yang lebih banyak dari Khalifah Abu Bakar. Soalnya wilayah kekhilafahan Islam waktu itu semakin luas berlipat ganda, sehingga semakin banyak pula tugas dan kewajibannya. Kehidupan rakyat pun semakin makmur. Ternyata beliau lebih memilih menerima gaji yang sama dengan yang diterima oleh Khalifah Abu Bakar, pendahulunya.
Orang-orang terdekatnya merasa iba dan prihatin atas sikap kesederhanaannya itu. Beberapa kali mereka mengusulkan agar Khalifah Umar mau menerima gaji sesuai tanggung jawabnya. Tetapi usulan itu selalu beliau tolak.
"Mengapa kalian memaksaku untuk menerima gaji yang melebihi kebutuhanku. Ketahuilah, walaupun Rasulullah SAW diampunkan dosanya yang telah lalu dan yang kemudian, namun beliau tetap memilih hidup sederhana, tetapi tetap bersemangat dalam beribadah. Apalagi aku ini?," kata beliau.
Ketika menerima utusan dari negara-negara di jazirah Arab yang telah ditaklukkan, beliau menyambutnya dengan mengenakan satu- satunya jubah beliau yang penuh tambalan yang lusuh. Berapa tambalannya?. Tambalannya ada di 12 tempat.
Sebagai pengganti Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, mestinya beliau berhak mendapatkan gaji yang lebih banyak dari Khalifah Abu Bakar. Soalnya wilayah kekhilafahan Islam waktu itu semakin luas berlipat ganda, sehingga semakin banyak pula tugas dan kewajibannya. Kehidupan rakyat pun semakin makmur. Ternyata beliau lebih memilih menerima gaji yang sama dengan yang diterima oleh Khalifah Abu Bakar, pendahulunya.
Orang-orang terdekatnya merasa iba dan prihatin atas sikap kesederhanaannya itu. Beberapa kali mereka mengusulkan agar Khalifah Umar mau menerima gaji sesuai tanggung jawabnya. Tetapi usulan itu selalu beliau tolak.
"Mengapa kalian memaksaku untuk menerima gaji yang melebihi kebutuhanku. Ketahuilah, walaupun Rasulullah SAW diampunkan dosanya yang telah lalu dan yang kemudian, namun beliau tetap memilih hidup sederhana, tetapi tetap bersemangat dalam beribadah. Apalagi aku ini?," kata beliau.
KETIKA ALLAH MENGABULKAN DOA
Pada jaman dahulu, ada tiga orang yang pergi dan terpaksa harus menginap di sebuah gua. Mereka pun masuk ke dalam gua tersebut. Tiba-tiba ada batu yang jatuh dari gunung hingga menutupi pintu gua tersebut. Mereka lantas berkata, "Sesungguhnya tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian dari batu ini, kecuali dengan berdo'a kepada Allah melalui perantara amal shalih kalian."
Maka salah seorang dari mereka berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki orang tua yang sudah lanjut. Aku selalu memberinya susu dan tidak memberikan kepada siapa pun sebelum keduanya. Hingga pada suatu hari, aku harus pergi jauh untuk menggembala, sampai aku belum menemui mereka. Aku pun memerah susu untuk keduanya. Ternyata aku dapati ia telah tidur. Aku enggak untuk membangunkan keduanya, tidak juga aku mau memberikan susu ini untuk yang lain sebelum keduanya. Maka, aku pun menunggu keduanya, sambil membawa tempat susu itu dengan tanganku sampai datang waktu fajar. Keduanya lalu bangun dan meminum susu itu. Ya Allah, jika sekiranya aku melakukan itu hanya karena mencari ridha-Mu, maka bebaskan kami dari batu ini." Setelah lelaki itu membaca do'a, batu itu pun bergeser sedikit.
Kemudian orang yang kedua berkata, "Ya Allah, aku punya sepupu perempuan. Ia yang paling aku cintai dari seluruh manusia, hingga aku menginginkannya. Tetapi ia menolak. Sampai suatu masa paceklik datang. Ia pun datang kepadaku. Aku memberinya 120 dinar dengan syarat ia mau tidur denganku. Ia pun mau, hingga ketika aku telah bersamanya, ia berkata, "Takutlah kepada Allah, janganlah engkau melakukannya kecuali dengan haknya (nikah)." Aku pun meninggalkannya, padahal dia adalah orang yang paling aku cintai. Sedang uang itu pun aku lepaskan untuk dirinya. Ya Allah, sekiranya apa yang aku lakukan itu adalah karena mencari ridha-Mu maka keluarkanlah kami dari kesulitan ini." Setelah itu, batu itu pun bergeser. Namun mereka bertiga belum bisa keluar.
Kemudian orang yang ketiga berdo'a, "Ya Allah, aku pernah menyewa para pekerja. Lalu aku memberi mereka upahnya. Kecuali seorang pekerja yang meninggalkan apa yang menjadi haknya lalu pergi. Maka upah pekerja yang pergi itu aku kembangkan hingga menjadi harta yang sangat banyak. Sampai suatu hari ia datang seraya berkata, "Wahai hamba Allah, tunaikanlah bayaranku." Aku pun menjawab, "Seluruh yang engkau lihat itu, dari unta, sapi, kambing, dan budaknya adalah upahmu." Ia berkata, "Wahai hamba Allah, janganlah engkau menghinaku." Aku menjawab, "Aku tidak menghinamu." Kemudian pekerja itu mengambil seluruh hartanya tanpa meninggalkan sedikit pun. "Ya Allah, kalau sekiranya aku melakukan itu karena mencari ridha-Mu, maka keluarkan kami dari kesulitan ini." Seketika, batu itu pun bergeser hingga mereka pun bisa keluar dan pergi. (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka salah seorang dari mereka berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki orang tua yang sudah lanjut. Aku selalu memberinya susu dan tidak memberikan kepada siapa pun sebelum keduanya. Hingga pada suatu hari, aku harus pergi jauh untuk menggembala, sampai aku belum menemui mereka. Aku pun memerah susu untuk keduanya. Ternyata aku dapati ia telah tidur. Aku enggak untuk membangunkan keduanya, tidak juga aku mau memberikan susu ini untuk yang lain sebelum keduanya. Maka, aku pun menunggu keduanya, sambil membawa tempat susu itu dengan tanganku sampai datang waktu fajar. Keduanya lalu bangun dan meminum susu itu. Ya Allah, jika sekiranya aku melakukan itu hanya karena mencari ridha-Mu, maka bebaskan kami dari batu ini." Setelah lelaki itu membaca do'a, batu itu pun bergeser sedikit.
Kemudian orang yang kedua berkata, "Ya Allah, aku punya sepupu perempuan. Ia yang paling aku cintai dari seluruh manusia, hingga aku menginginkannya. Tetapi ia menolak. Sampai suatu masa paceklik datang. Ia pun datang kepadaku. Aku memberinya 120 dinar dengan syarat ia mau tidur denganku. Ia pun mau, hingga ketika aku telah bersamanya, ia berkata, "Takutlah kepada Allah, janganlah engkau melakukannya kecuali dengan haknya (nikah)." Aku pun meninggalkannya, padahal dia adalah orang yang paling aku cintai. Sedang uang itu pun aku lepaskan untuk dirinya. Ya Allah, sekiranya apa yang aku lakukan itu adalah karena mencari ridha-Mu maka keluarkanlah kami dari kesulitan ini." Setelah itu, batu itu pun bergeser. Namun mereka bertiga belum bisa keluar.
Kemudian orang yang ketiga berdo'a, "Ya Allah, aku pernah menyewa para pekerja. Lalu aku memberi mereka upahnya. Kecuali seorang pekerja yang meninggalkan apa yang menjadi haknya lalu pergi. Maka upah pekerja yang pergi itu aku kembangkan hingga menjadi harta yang sangat banyak. Sampai suatu hari ia datang seraya berkata, "Wahai hamba Allah, tunaikanlah bayaranku." Aku pun menjawab, "Seluruh yang engkau lihat itu, dari unta, sapi, kambing, dan budaknya adalah upahmu." Ia berkata, "Wahai hamba Allah, janganlah engkau menghinaku." Aku menjawab, "Aku tidak menghinamu." Kemudian pekerja itu mengambil seluruh hartanya tanpa meninggalkan sedikit pun. "Ya Allah, kalau sekiranya aku melakukan itu karena mencari ridha-Mu, maka keluarkan kami dari kesulitan ini." Seketika, batu itu pun bergeser hingga mereka pun bisa keluar dan pergi. (HR. Bukhari dan Muslim)
KETAWADLUKAN SANG KHALIFAH
Khalifah Umar bin Khattab nampak gelisah. Hampir satu pekan terakhir ini ia sering keluar ke perbatasan kota Madinah. Sepanjang hari ia berdiri sambil sesekali mendesah panjang. Nampak dari kecemasannya ia tengah menunggu sesuatu. Benar. Khalifah kedua pengganti Rasulullah ini sedang menanti berita tentang kaum muslimin di medan laga, Qadisiyah. Jika hari menjelang sore dan yang ditunggunya pun tak kunjung muncul, Khalifah Umar kembali ke rumahnya dengan hati cemas. Malamnya pun nyaris tak bisa memejamkan mata. Ia khawatir kekalahan akan menimpa kaum muslimin.
Suatu hari, kala sang khalifah tengah berada di perbatasan kota Madinah, menunggu seperti biasa, dari kejauhan nampak seorang penunggang kuda menuju ke arahnya. Dengan hati cemas diselimuti berbagai pertanyaan, khalifah berjuluk Al-Faruq itu menghampiri si penunggang kuda. Berbagai pertanyaan segera meluncur dari mulutnya.
"Anda dari mana?"
"Dari Qadisiyah," jawab sang utusan.
"Apakah Anda salah seorang pasukan muslimin?" tanya Umar.
"Benar. Saya diutus oleh Panglima Besar Sa'ad bin Abi Waqqash untuk menyampaikan berita tentang keadaan kaum muslimin."
"Hm... Bagaimana keadaan mereka?"
"Alhamdulilah. Berkat kebesaran Allah, kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran."
Khalifah Umar menarik nafas lega. Kekhawatiran yang selama ini selalu membuatnya gelisah, sirna. Satu lagi kemenangan diraih kaum muslimin. Itu berarti dakwah islamiyah kembali tersebar menyinari seantero bumi. Sembari berjalan menuju kota Madinah, Umar bin Khattab terus menanyakan keadaan kaum muslimin dan rencana-rencana mereka selanjutnya. Sang utusan tetap berada di atas punggung kuda, sedangkan Umar bin Khattab berjalan kaki di sampingnya.
Utusan itu bernama Basyir Al-Badawi. Ia adalah salah seorang anggota kabilah Arab yang belum pernah bertemu dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena kecepatannya menunggang kuda, ia dipilih untuk menyampaikan berita kemenangan kepada khalifah Umar bin Khattab.
Ketika memasuki pusat kota Madinah, kaum muslimin yang berpapasan dengan mereka memberikan salam kepada Umar bin Khattab. Betapa terkejutnya sang utusan saat mengetahui orang yang berjalan di sampingnya adalah khalifah kaum muslimin yang tengah ia cari. Buru-buru ia turun dari kuda tunggangannya.
"Apakah benar Anda Amirul Mukminin Umar bin Khattab? tanya sang utusan ragu.
"Khalifah Umar hanya tersenyum.
"Mengapa Anda tidak memperkenalkan diri sejak tadi. Saya sangat malu membiarkan Anda berjalan kaki sedangkan saya menunggang kuda..."
"Tidak apa-apa," ujar khalifah Umar seraya memeluk sang utusan sebagai tanda kegembiraannya mendengar berita kemenangan kaum muslimin. Begitu juga penduduk Madinah. Mereka berseru gembira sambil mengucapkan takbir, memuji kebesaran Allah. Sedangkan sang utusan berkali-kali menyeka air mata haru begitu mengetahui ketawadhuan khalifahnya.
Suatu hari, kala sang khalifah tengah berada di perbatasan kota Madinah, menunggu seperti biasa, dari kejauhan nampak seorang penunggang kuda menuju ke arahnya. Dengan hati cemas diselimuti berbagai pertanyaan, khalifah berjuluk Al-Faruq itu menghampiri si penunggang kuda. Berbagai pertanyaan segera meluncur dari mulutnya.
"Anda dari mana?"
"Dari Qadisiyah," jawab sang utusan.
"Apakah Anda salah seorang pasukan muslimin?" tanya Umar.
"Benar. Saya diutus oleh Panglima Besar Sa'ad bin Abi Waqqash untuk menyampaikan berita tentang keadaan kaum muslimin."
"Hm... Bagaimana keadaan mereka?"
"Alhamdulilah. Berkat kebesaran Allah, kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran."
Khalifah Umar menarik nafas lega. Kekhawatiran yang selama ini selalu membuatnya gelisah, sirna. Satu lagi kemenangan diraih kaum muslimin. Itu berarti dakwah islamiyah kembali tersebar menyinari seantero bumi. Sembari berjalan menuju kota Madinah, Umar bin Khattab terus menanyakan keadaan kaum muslimin dan rencana-rencana mereka selanjutnya. Sang utusan tetap berada di atas punggung kuda, sedangkan Umar bin Khattab berjalan kaki di sampingnya.
Utusan itu bernama Basyir Al-Badawi. Ia adalah salah seorang anggota kabilah Arab yang belum pernah bertemu dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena kecepatannya menunggang kuda, ia dipilih untuk menyampaikan berita kemenangan kepada khalifah Umar bin Khattab.
Ketika memasuki pusat kota Madinah, kaum muslimin yang berpapasan dengan mereka memberikan salam kepada Umar bin Khattab. Betapa terkejutnya sang utusan saat mengetahui orang yang berjalan di sampingnya adalah khalifah kaum muslimin yang tengah ia cari. Buru-buru ia turun dari kuda tunggangannya.
"Apakah benar Anda Amirul Mukminin Umar bin Khattab? tanya sang utusan ragu.
"Khalifah Umar hanya tersenyum.
"Mengapa Anda tidak memperkenalkan diri sejak tadi. Saya sangat malu membiarkan Anda berjalan kaki sedangkan saya menunggang kuda..."
"Tidak apa-apa," ujar khalifah Umar seraya memeluk sang utusan sebagai tanda kegembiraannya mendengar berita kemenangan kaum muslimin. Begitu juga penduduk Madinah. Mereka berseru gembira sambil mengucapkan takbir, memuji kebesaran Allah. Sedangkan sang utusan berkali-kali menyeka air mata haru begitu mengetahui ketawadhuan khalifahnya.
KETANGKASAN LIDAH ULAMA
Suatu ketika Abu Hanifah memasuki sebuah masjid, lalu duduk bertafakkur seraya melantunkan ayat-ayat Allah. Ia asyik tenggelam mentadabburi keindahan kalam Ilahi. Dengannya, kekuatan ruhiyahnya semakin subur. Tapi, tiba-tiba ia berhenti dari lantunannya. Karena beberapa orang Khawarij sekonyong-konyong menghampirinya. Kepada Abu Hanifah, mereka menghunuskan pedang. Dengan tatapan tajam mereka berkata, "Kami akan mengajukan dua pertanyaan kepada Anda. Bila Anda dapat menjawabnya dengan baik, tentu Anda akan selamat. Bila tidak leher Anda akan menjadi tebasan pedang ini."
Sejenak sedikit perasaan takut menyelimuti Abu Hanifah. Sembari menatap mata pedang mereka, Abu Hanifah berkata, "Saya akan menjawabnya. Akan tetapi, masukkanlah terlebih dahulu pedang kalian ke sarungnya." Mereka menjawab, "Bagaimana mungkin itu kami lakukan? Sedangkan memenggal leher Anda ini bagi kami adalah sesuatu yang telah dijanjikan akan mendapat pahala yang besar. Karenanya kami semua mengharapkan keutamaan ini!" Tanpa membuang-buang waktu, orang-orang Khawarij itu melontarkan pertanyaan kepadanya, "Bila ada dua jenazah, yang satu peminum khamr dan meninggal dunia dalam keadaan mabuk. Sedangkan yang satu lagi, wanita hamil akibat zina dan meninggal dunia saat melahirkan dan ia belum bertaubat. Mereka berdua ini kafir atau muslim?"
Mendengar pertanyaan ini, Abu Hanifah malah balik bertanya, "Dari kelompok manakah mereka itu? Apakah Yahudi?"
"Bukan", jawab mereka.
"Dari Nashara?"
"Bukan."
"Lalu dari kelompok mana?" tanya Abu Hanifah.
"Orang Islam," jawab mereka.
"Kalau begitu, jawabannya telah kalian sebutkan sendiri," tandas Abu Hanifah dengan tangkas, membuat para penanya itu terdiam seribu bahasa.
Tak lama kemudian, masih dalam keadaan menghunus pedang, mereka bertanya lagi, "Kedua-duanya di surga atau di neraka?" "Bila kalian bertanya mengenai surga atau neraka, maka jawaban saya seperti ucapan Nabi Ibrahim a.s. kepada kaumnya, '...Barangsiapa yang mengikutiku, ia termasuk golonganku. Dan barangsiapa mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,' (QS. Ibrahim: 36). Atau jawabanku seperti Nabi Isa a.s., 'Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,' (QS. Al-Maidah: 118)."
Jawaban tangkas Imam Abu Hanifah membuat orang-orang Khawarij itu tidak berkutik. Mereka tidak mendapati celah kesalahan jawaban dari seorang ulama besar itu. Akhirnya, karena ketangkasan diplomasinya itu, selamatlah Abu Hanifah dari ancaman dan teror mereka. Kemudian, ia meneruskan tafakkurnya yang sempat terhenti sejenak.
Sejenak sedikit perasaan takut menyelimuti Abu Hanifah. Sembari menatap mata pedang mereka, Abu Hanifah berkata, "Saya akan menjawabnya. Akan tetapi, masukkanlah terlebih dahulu pedang kalian ke sarungnya." Mereka menjawab, "Bagaimana mungkin itu kami lakukan? Sedangkan memenggal leher Anda ini bagi kami adalah sesuatu yang telah dijanjikan akan mendapat pahala yang besar. Karenanya kami semua mengharapkan keutamaan ini!" Tanpa membuang-buang waktu, orang-orang Khawarij itu melontarkan pertanyaan kepadanya, "Bila ada dua jenazah, yang satu peminum khamr dan meninggal dunia dalam keadaan mabuk. Sedangkan yang satu lagi, wanita hamil akibat zina dan meninggal dunia saat melahirkan dan ia belum bertaubat. Mereka berdua ini kafir atau muslim?"
Mendengar pertanyaan ini, Abu Hanifah malah balik bertanya, "Dari kelompok manakah mereka itu? Apakah Yahudi?"
"Bukan", jawab mereka.
"Dari Nashara?"
"Bukan."
"Lalu dari kelompok mana?" tanya Abu Hanifah.
"Orang Islam," jawab mereka.
"Kalau begitu, jawabannya telah kalian sebutkan sendiri," tandas Abu Hanifah dengan tangkas, membuat para penanya itu terdiam seribu bahasa.
Tak lama kemudian, masih dalam keadaan menghunus pedang, mereka bertanya lagi, "Kedua-duanya di surga atau di neraka?" "Bila kalian bertanya mengenai surga atau neraka, maka jawaban saya seperti ucapan Nabi Ibrahim a.s. kepada kaumnya, '...Barangsiapa yang mengikutiku, ia termasuk golonganku. Dan barangsiapa mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,' (QS. Ibrahim: 36). Atau jawabanku seperti Nabi Isa a.s., 'Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,' (QS. Al-Maidah: 118)."
Jawaban tangkas Imam Abu Hanifah membuat orang-orang Khawarij itu tidak berkutik. Mereka tidak mendapati celah kesalahan jawaban dari seorang ulama besar itu. Akhirnya, karena ketangkasan diplomasinya itu, selamatlah Abu Hanifah dari ancaman dan teror mereka. Kemudian, ia meneruskan tafakkurnya yang sempat terhenti sejenak.
KESEDERHANAAN KHALIAH UMAR
Di Madinah yang tenang hari itu. Siang berlalu setengah perjalanan. Serombongan orang yang nampak asing berjalan memasuki kota suci islam kedua itu. Ternyata itu rombongan Hurmuzan, panglima dan pangeran Persia yang telah ditaklukkan pasukan muslim, yang ingin bertemu dengan Amirul Mu'minin Umar bin Khattab.
Dengan ditemani Anas bin Malik, Hurmuzan datang dengan kebesaran dan kemegahannya. Dengan diikuti pemuka-pemuka terkenal dan seluruh anggota keluarganya, Hurmuzan memasuki Madinah dengan menampilkan keagungan dan kemuliaan seorang raja. Perhiasan yang bertatah permata melekat di dahi. Sementara mantel sutra yang mewah menutupi pundaknya. Sementara itu sebilah pedang bengkok dengan hiasan batu-batu mulia menggantung pada sabuknya. Ia bertanya-tanya dimana Amirul Mu'minin bertempat tinggal. Ia membayangkan bahwa Umar bin Khattab yang kemasyhurannya tersebar ke seluruh dunia pasti tinggal di sebuah istana yang megah.
Sampai di Madinah, mereka langsung menuju ke tempat kediaman Umar. Tetapi mereka diberitahu bahwa Umar sudah pergi ke Masjid sedang menerima delegasi dari Kufah. Mereka pun bergegas ke Masjid. Tetapi tidak juga melihat Umar. Melihat rombongan itu, anak-anak Madinah mengerti maksud kedatangan mereka. Lalu diberitahukan bahwa Amirul Mu'minin sedang tidur di beranda kanan Masjid dengan menggunakan mantelnya sebagai bantal.
Betapa terkejutnya Hurmuzan, ketika ditunjukkan bahwa Umar adalah lelaki dengan pakaian seadanya yang sedang tidur di Masjid itu. Hurmuzan beserta rombongannya nyaris tak percaya. Tetapi, memang itulah kenyataannya. Di Masjid itu tidak ada orang lain kecuali Umar.
Maka dalam riwayat lain dikatakan, sambil berdecak heran Hurmuzan bergumam, "Engkau, wahai Umar, telah memerintah dengan adil, lalu engkau aman dan engkau pun bisa tidur dengan nyaman."
Dengan ditemani Anas bin Malik, Hurmuzan datang dengan kebesaran dan kemegahannya. Dengan diikuti pemuka-pemuka terkenal dan seluruh anggota keluarganya, Hurmuzan memasuki Madinah dengan menampilkan keagungan dan kemuliaan seorang raja. Perhiasan yang bertatah permata melekat di dahi. Sementara mantel sutra yang mewah menutupi pundaknya. Sementara itu sebilah pedang bengkok dengan hiasan batu-batu mulia menggantung pada sabuknya. Ia bertanya-tanya dimana Amirul Mu'minin bertempat tinggal. Ia membayangkan bahwa Umar bin Khattab yang kemasyhurannya tersebar ke seluruh dunia pasti tinggal di sebuah istana yang megah.
Sampai di Madinah, mereka langsung menuju ke tempat kediaman Umar. Tetapi mereka diberitahu bahwa Umar sudah pergi ke Masjid sedang menerima delegasi dari Kufah. Mereka pun bergegas ke Masjid. Tetapi tidak juga melihat Umar. Melihat rombongan itu, anak-anak Madinah mengerti maksud kedatangan mereka. Lalu diberitahukan bahwa Amirul Mu'minin sedang tidur di beranda kanan Masjid dengan menggunakan mantelnya sebagai bantal.
Betapa terkejutnya Hurmuzan, ketika ditunjukkan bahwa Umar adalah lelaki dengan pakaian seadanya yang sedang tidur di Masjid itu. Hurmuzan beserta rombongannya nyaris tak percaya. Tetapi, memang itulah kenyataannya. Di Masjid itu tidak ada orang lain kecuali Umar.
Maka dalam riwayat lain dikatakan, sambil berdecak heran Hurmuzan bergumam, "Engkau, wahai Umar, telah memerintah dengan adil, lalu engkau aman dan engkau pun bisa tidur dengan nyaman."
KEADILAN ISLAM
Sejak menjabat gubernur, Amr bin Ash tidak lagi pergi ke medan tempur. Dia lebih sering tinggal di istana. Di depan istananya yang mewah itu ada sebidang tanah yang luas dan sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi tua.
"Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid," gumam sang gubernur.
Singkat kata, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang gubernur untuk bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu menolak untuk menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali lipat dari harga pasaran.
"Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!" ancam sang gubernur.
Sepeninggal Yahudi tua itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran.Sementara si kakek tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat untuk mengadukan kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.
"Ada perlu apa kakek, jauh-jauh dari Mesir datang ke sini?" tanya Umar bin Khattab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan seorang khalifah yang tinggi besar dan full wibawa, si kakek itu mengadukan kasusnya. Padahal penampilan khalifah Umar amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.
Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang tua itu.
"Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!" kecam Umar.
"Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada," si kakek itu semakin gemetar dan kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.
"Berikan tulang ini pada gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir," kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khattab.
Si Yahudi itu semakin kebingungan, "Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!" ujar Yahudi itu pelan.
Dia cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak.Jangan-jangan khalifah dan gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas, begitu pikir si kakek. Bisa jadi dirinya malah akan ditangkap dan dituduh subversif.
Yahudi itu semakin tidak mengerti ketika bertemu kembali dengan Gubernur Amr bin Ash. "Bongkar masjid itu!" teriak Amr bin Ash gemetar. Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari keluar menuju gubuk reyotnya untuk membuktikan sesungguhan perintah gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan masjid megah yang sudah hampir jadi itu.
"Tunggu!" teriak sang kakek. "Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!" Amr bin Ash memegang pundak si kakek, "Wahai kakek, tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk."
"Tapi....." sela si kakek.
"Karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti.
Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak mampu menegakkan keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala saya!" jelas sang gubernur.
"Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!" tutur si kakek itu dengan mata berkaca-kaca.
"Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid," gumam sang gubernur.
Singkat kata, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang gubernur untuk bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu menolak untuk menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali lipat dari harga pasaran.
"Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!" ancam sang gubernur.
Sepeninggal Yahudi tua itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran.Sementara si kakek tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat untuk mengadukan kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.
"Ada perlu apa kakek, jauh-jauh dari Mesir datang ke sini?" tanya Umar bin Khattab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan seorang khalifah yang tinggi besar dan full wibawa, si kakek itu mengadukan kasusnya. Padahal penampilan khalifah Umar amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.
Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang tua itu.
"Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!" kecam Umar.
"Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada," si kakek itu semakin gemetar dan kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.
"Berikan tulang ini pada gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir," kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khattab.
Si Yahudi itu semakin kebingungan, "Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!" ujar Yahudi itu pelan.
Dia cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak.Jangan-jangan khalifah dan gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas, begitu pikir si kakek. Bisa jadi dirinya malah akan ditangkap dan dituduh subversif.
Yahudi itu semakin tidak mengerti ketika bertemu kembali dengan Gubernur Amr bin Ash. "Bongkar masjid itu!" teriak Amr bin Ash gemetar. Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari keluar menuju gubuk reyotnya untuk membuktikan sesungguhan perintah gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan masjid megah yang sudah hampir jadi itu.
"Tunggu!" teriak sang kakek. "Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!" Amr bin Ash memegang pundak si kakek, "Wahai kakek, tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk."
"Tapi....." sela si kakek.
"Karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti.
Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak mampu menegakkan keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala saya!" jelas sang gubernur.
"Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!" tutur si kakek itu dengan mata berkaca-kaca.
KERJA KERAS SEEKOR BURUNG
Dikisahkan, Al Halkhi adalah seorang yang terkenal dengan keshalihannya. Suatu hari ia berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat, tak lupa ia memohon diri kepada sahabat karibnya yang terkenal zuhud, yakni Ibrahim bin Adham.
Belum lama Al Balkhi pergi berdagang, tiba-tiba ada kabar bahwa ia sudah kembali. Hal ini menimbulkan keheranan bagi Ibrahim bin Adham, gerangan apa yang membuat Al Balkhi yang baru beberapa hari pergi sudah kembali. Ibrahim bin Adham yang ketika itu berada di masjid lalu menghampiri Al Balkhi seraya bertanya, "Hai Balkhi, mengapa secepat ini kau kembali?"
Al Balkhi dengan tenang menjawab, "Dalam perjalanan aku melihat suatu keanehan. Hal itulah yang membuat diriku memutuskan untuk segera membatalkan perjalanan. Ketika aku beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak, aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan buta. Melihat itu, aku bergumam dan bertanya-tanya dalam hati, bagaimanakah kiranya burung ini bisa bertahan hidup sementara ia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya. Dengan matanya yang tidak bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa. Tak lama kemudian ada seekor burung yang lain bersusah payah menghampirinya dengan membawa perbekalan makanan untuk burung yang cacat itu. Seharian penuh aku terus memperhatikan burung itu, ternyata ia tak pernah kekurangan makanan karena berulang kali dikirim makanan oleh temannya yang sehat.
Itu semua membuatku merasa cukup untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa Sang pemberi rezeki telah memberi karunia kepada seekor burung yang pincang lagi buta dan jauh dari teman-temannya itu. Dan dengan kemurahan-Nya, Ia telah mencukupkan rezeki baginya. Kalau begitu dalam keyakinanku Ia tentu akan mencukupi rezekiku sekalipun aku tidak bekerja! Kemudian aku pun memutuskan untuk segera pulang saat itu juga."
Mendengar penuturan Al-Balkhi, Ibrahim bin Adham segera menanggapi. "Wahai Al Balkhi sahabatku, mengapa serendah itu pemikiranmu? Mengapa kau rela menyamakan derajatmu dengan seekor burung yang pincang lagi buta? Mengapa kau mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup atas belas kasihan dan bantuan makhluk lain? Mengapa engkau tidak mencontoh perilaku burung yang satu lagi, yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan kebutuhan sahabatnya yang memang tak mampu bekerja! Apakah engkau tidak tahu bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah?"
Mendengar berondongan pertanyaan yang sangat mendasar itu sadarlah Al Balkhi akan kekhilafannya. Serta merta ia bangkit dan mencium tangan Ibrahim bin Adham seraya berkata, "Wahai Ibrahim, ternyata engkaulah guru kami yang baik." Kemudian ia mohon diri untuk berangkat melanjutkan usaha dagangnya.
Belum lama Al Balkhi pergi berdagang, tiba-tiba ada kabar bahwa ia sudah kembali. Hal ini menimbulkan keheranan bagi Ibrahim bin Adham, gerangan apa yang membuat Al Balkhi yang baru beberapa hari pergi sudah kembali. Ibrahim bin Adham yang ketika itu berada di masjid lalu menghampiri Al Balkhi seraya bertanya, "Hai Balkhi, mengapa secepat ini kau kembali?"
Al Balkhi dengan tenang menjawab, "Dalam perjalanan aku melihat suatu keanehan. Hal itulah yang membuat diriku memutuskan untuk segera membatalkan perjalanan. Ketika aku beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak, aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan buta. Melihat itu, aku bergumam dan bertanya-tanya dalam hati, bagaimanakah kiranya burung ini bisa bertahan hidup sementara ia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya. Dengan matanya yang tidak bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa. Tak lama kemudian ada seekor burung yang lain bersusah payah menghampirinya dengan membawa perbekalan makanan untuk burung yang cacat itu. Seharian penuh aku terus memperhatikan burung itu, ternyata ia tak pernah kekurangan makanan karena berulang kali dikirim makanan oleh temannya yang sehat.
Itu semua membuatku merasa cukup untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa Sang pemberi rezeki telah memberi karunia kepada seekor burung yang pincang lagi buta dan jauh dari teman-temannya itu. Dan dengan kemurahan-Nya, Ia telah mencukupkan rezeki baginya. Kalau begitu dalam keyakinanku Ia tentu akan mencukupi rezekiku sekalipun aku tidak bekerja! Kemudian aku pun memutuskan untuk segera pulang saat itu juga."
Mendengar penuturan Al-Balkhi, Ibrahim bin Adham segera menanggapi. "Wahai Al Balkhi sahabatku, mengapa serendah itu pemikiranmu? Mengapa kau rela menyamakan derajatmu dengan seekor burung yang pincang lagi buta? Mengapa kau mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup atas belas kasihan dan bantuan makhluk lain? Mengapa engkau tidak mencontoh perilaku burung yang satu lagi, yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan kebutuhan sahabatnya yang memang tak mampu bekerja! Apakah engkau tidak tahu bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah?"
Mendengar berondongan pertanyaan yang sangat mendasar itu sadarlah Al Balkhi akan kekhilafannya. Serta merta ia bangkit dan mencium tangan Ibrahim bin Adham seraya berkata, "Wahai Ibrahim, ternyata engkaulah guru kami yang baik." Kemudian ia mohon diri untuk berangkat melanjutkan usaha dagangnya.
KALAH SEBELUM BERTANDING
Di zaman Imam Ahmad, sekelompok orang penganut paham atheis berusaha mengacaukan keimanan umat perihal adanya tuhan. Dengan dukungan argumentasi dan logika yang kuat, mereka berhasil memutarbalikkan fakta. Kata mereka, alam semesta terjadi dengan proses sendirinya. Tanpa campur tangan Zat Maha Tinggi (Allah). Alhasil manusia tidak perlu menyembah Tuhan, sesuatu yang sebenarnya tidak ada, begitu nalar mereka
Sudah banyak ulama yang berusaha meluruskan dengan cara mendebatnya. Tapi pendapat kaum atheis ini belum jua terkalahkan. Bahkan mereka semakin congkak dengan keingkarannya.
Hingga datang tantangan berdebat dari seorang alim yang sangat sederhana yang tak lain adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Penampilannya sekilas tak menunjukkan bahwa ia seorang ulama yang berilmu tinggi, namun kaum atheis tetap bersedia menerima tantangan berdebat. Syaratnya harus diselenggarakan pada forum terbuka, dihadiri banyak orang. Dipilihlah waktu dan tempat yang disetujui bersama.
Pada hari H, Imam Ahmad datang terlambat. Tentu saja ia dicaci maki oleh kelompok atheis dan penonton yang kesal menunggu.
”Sabar, sabar beri aku kesempatan menjelaskan sebab keterlambatan ini,” ujarnya tenang.
Walau masih menggerutu, mereka menahan suara.
”Begini, perlu kalian ketahui bahwa saya tinggal di pinggiran kota. Antara kita dipisahkan sebuah sungai yang cukup lebar. Nah, ketika hendak kemari saya tidak mendapatkan kapal untuk menyeberang. Itu sebabnya saya terlambat datang.”
”Bagaimana Anda bisa tiba kemari kalau tidak mendapatkan perahu?” tanya mereka heran.
”Sungguh ajaib,” sahut Imam Ahmad.
”Tiba-tiba selembar papan hanyut terapung-apung dan dengan sendirinya berhenti persis di depanku. Kemudian disusul oleh papan-papan lain yang juga hanyut lalu bergabung dengan papan pertama. Lantas tiba-tiba saja ada seutas tali. Papan-papan dan tali itu merakit diri dengan sendirinya oleh arus air, sehingga menjadi sampan yang tahan dari kemasukan air. Nah sampan kecil itulah yang menyeberangkan saya hingga sampai ke tempat ini dengan selamat,” ungkapnya panjang lebar.
Kelompok atheis tertawa terbahak-bahak. Salah seorang di antara mereka berkata ketus, ”Ah, Anda membuat lelucon saja. Itu mustahil. Tidak masuk akal.”
Imam Ahmad menjawab santai, ”Nah, kalau kalian mengingkari sampan yang kecil itu bisa merakit sendirinya, maka apakah mungkin alam semesta yang besar dan rumit ini terjadi dengan sendirinya tanpa peranan Allah SWT?”
Mereka terdiam, bungkam seribu bahasa dan berkeringat. Karena tidak menemukan jawaban yang tepat mereka pergi begitu saja. Seketika penonton bersorak gembira, mengelukan Imam Ahmad yang sederhana tapi amat cerdas. Hanya dengan logika yang amat sederhana, kelompok atheis kalah sebelum bertanding. Agaknya orang-orang atheis itu harus segera memilih antara debat ataukah taubat.
Sudah banyak ulama yang berusaha meluruskan dengan cara mendebatnya. Tapi pendapat kaum atheis ini belum jua terkalahkan. Bahkan mereka semakin congkak dengan keingkarannya.
Hingga datang tantangan berdebat dari seorang alim yang sangat sederhana yang tak lain adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Penampilannya sekilas tak menunjukkan bahwa ia seorang ulama yang berilmu tinggi, namun kaum atheis tetap bersedia menerima tantangan berdebat. Syaratnya harus diselenggarakan pada forum terbuka, dihadiri banyak orang. Dipilihlah waktu dan tempat yang disetujui bersama.
Pada hari H, Imam Ahmad datang terlambat. Tentu saja ia dicaci maki oleh kelompok atheis dan penonton yang kesal menunggu.
”Sabar, sabar beri aku kesempatan menjelaskan sebab keterlambatan ini,” ujarnya tenang.
Walau masih menggerutu, mereka menahan suara.
”Begini, perlu kalian ketahui bahwa saya tinggal di pinggiran kota. Antara kita dipisahkan sebuah sungai yang cukup lebar. Nah, ketika hendak kemari saya tidak mendapatkan kapal untuk menyeberang. Itu sebabnya saya terlambat datang.”
”Bagaimana Anda bisa tiba kemari kalau tidak mendapatkan perahu?” tanya mereka heran.
”Sungguh ajaib,” sahut Imam Ahmad.
”Tiba-tiba selembar papan hanyut terapung-apung dan dengan sendirinya berhenti persis di depanku. Kemudian disusul oleh papan-papan lain yang juga hanyut lalu bergabung dengan papan pertama. Lantas tiba-tiba saja ada seutas tali. Papan-papan dan tali itu merakit diri dengan sendirinya oleh arus air, sehingga menjadi sampan yang tahan dari kemasukan air. Nah sampan kecil itulah yang menyeberangkan saya hingga sampai ke tempat ini dengan selamat,” ungkapnya panjang lebar.
Kelompok atheis tertawa terbahak-bahak. Salah seorang di antara mereka berkata ketus, ”Ah, Anda membuat lelucon saja. Itu mustahil. Tidak masuk akal.”
Imam Ahmad menjawab santai, ”Nah, kalau kalian mengingkari sampan yang kecil itu bisa merakit sendirinya, maka apakah mungkin alam semesta yang besar dan rumit ini terjadi dengan sendirinya tanpa peranan Allah SWT?”
Mereka terdiam, bungkam seribu bahasa dan berkeringat. Karena tidak menemukan jawaban yang tepat mereka pergi begitu saja. Seketika penonton bersorak gembira, mengelukan Imam Ahmad yang sederhana tapi amat cerdas. Hanya dengan logika yang amat sederhana, kelompok atheis kalah sebelum bertanding. Agaknya orang-orang atheis itu harus segera memilih antara debat ataukah taubat.
KASIH SAYANG ALLAH
Imam Ar Razi, ahli tafsir terkemuka (w.604), ketika menafsirkan ayat " al rahamaan al rahiim "(QS:1:3), menyebutkan dua kisah yang sangat mengesankan dan menunjukkan betapa Allah SWT, maha Pengasih dan maha Penyayang :
Kisah pertama, adalah pengalaman orang saleh bernama Ibrahim bin Adham.
Dikisahkan bahwa suatu hari Ibrahim bin Adham menamu pada suatu kaum. Kaum itu menyambutnya dengan senang hati. Kapadanya mereka menyuguhi makanan yang enak. Tapi ketika Ibrahim hendak mulai menikmatinya tiba-tiba datang seekor burung gagak mengambil makanan tersebut. Ibrahim segera melihat bahwa pasti ada suatu yang aneh dari tindakan burung itu. Ibrahim seketika bangkit dan mengikuti kemana arah burung itu terbang. Tak beberapa jauh dari pandangan Ibrahim, gagak itu nampak menjatuhkan makanan yang dibawanya ke suatu tempat. Ibrahim mendekati arah jatuhnya makanan. Setibanya di tempat yang ia tuju, Ibrahim ternyata menyaksikan seorang yang sedang diikat dalam keadaan telentang di bawah rindang sebuah pohon. Dan ternyata makanan yang dilemparkan burung gagak itu langsung jatuh tepat ke mulutnya. Ibrahim segera mengagungkan Allah, yang telah menyelamatkan hambanya, yang sangat tak berdaya, di mana secara akal ia tidak akan bisa melanjutkan hidupnya.
Namun karena Allah menghendakinya, Allah kirimkan gagak sebagai salah satu tentaraNya utunk membantunya.
Kisah kedua, terjadi pada seorang saleh bernama Dzin Nun. Simaklah Dzin Nun bercerita : " Suatu hari saya gelisah diam di rumah. Saya mencoba keluar.
Entah kemana arah yang saya tuju. Saya ikuti gerak langkah kaki tanpa sebuah kepastian. Kok tiba-tiba saya terdampar di tepi sungai Niel. Di sana saya lalu menyaksikan seekor Kalajengking yang begitu besar dan kekar. Ia berjalan dengan cepat menuju sungai Niel. Saya ikuti arah jalannya. Dan ternyata di tepi sungai itu sudah ada seekor kodok yang nampak sedang menunggunya. Kalajengking tersebut langsung melompat ke punggung kodok itu.
Dan kodok segera membawanya ke arah tepi sungai yang lain. Saya segera mengambil perahau kecil dan berangkat menuju ke arah yang dituju kedua binatang itu. Setibanya di tepi sungai, Kalajengking segera melompat kedaratan dan bergerak menuju ke arah tertentu. Pandangan saya terus terkonsentrasi mengikutinya. Di arah yang sama saya melihat seorang anak muda yang sedang tidur di bawah pohon. Pun saya melihat seekor ular yang sedang mendekati untuk menyambarnya. Kelajengking nampaknya bergegas menuju ke sana. Tak lama kemudian saya melihat sebuah pertarungan yang sengit antara Kalajengking dan ular itu. Pertarungan yang cukup lama membuat keduanya sama-sama mati. Dan anak muda selamat dari sambaran ular".
(Mafaatiihul Ghaib, oleh Imam Ar Razi, Jilid:1,hal:237) Maha suci Allah yang telah mengutus seekor Kalajengking dan seekor kodok untuk menyelamatkan hambaNya yang tak berdaya.
Dalam keseharian hidup - disadari atau tidak - kita sering mengalami pertolongan Allah, terutama saat kita berada dalam posisi yang sangat sulit.
Kita sering dimanja dengan kasih sayangNya. Tapi kita sering melupakannya.
Bahkan kita sering menganggap bahwa keberhasilan yang kita capai itu karena kehebatan kita. Akibatn ya kita sering sombong dengan nikmat-nikmat yang sebenarnya hanyalah karunia Allah SWT. Akibatnya lagi, kita begitu mudah melanggar hukum-hukumNya, dengan berbagai alasan yang kita bikin sendiri.
Kisah pertama, adalah pengalaman orang saleh bernama Ibrahim bin Adham.
Dikisahkan bahwa suatu hari Ibrahim bin Adham menamu pada suatu kaum. Kaum itu menyambutnya dengan senang hati. Kapadanya mereka menyuguhi makanan yang enak. Tapi ketika Ibrahim hendak mulai menikmatinya tiba-tiba datang seekor burung gagak mengambil makanan tersebut. Ibrahim segera melihat bahwa pasti ada suatu yang aneh dari tindakan burung itu. Ibrahim seketika bangkit dan mengikuti kemana arah burung itu terbang. Tak beberapa jauh dari pandangan Ibrahim, gagak itu nampak menjatuhkan makanan yang dibawanya ke suatu tempat. Ibrahim mendekati arah jatuhnya makanan. Setibanya di tempat yang ia tuju, Ibrahim ternyata menyaksikan seorang yang sedang diikat dalam keadaan telentang di bawah rindang sebuah pohon. Dan ternyata makanan yang dilemparkan burung gagak itu langsung jatuh tepat ke mulutnya. Ibrahim segera mengagungkan Allah, yang telah menyelamatkan hambanya, yang sangat tak berdaya, di mana secara akal ia tidak akan bisa melanjutkan hidupnya.
Namun karena Allah menghendakinya, Allah kirimkan gagak sebagai salah satu tentaraNya utunk membantunya.
Kisah kedua, terjadi pada seorang saleh bernama Dzin Nun. Simaklah Dzin Nun bercerita : " Suatu hari saya gelisah diam di rumah. Saya mencoba keluar.
Entah kemana arah yang saya tuju. Saya ikuti gerak langkah kaki tanpa sebuah kepastian. Kok tiba-tiba saya terdampar di tepi sungai Niel. Di sana saya lalu menyaksikan seekor Kalajengking yang begitu besar dan kekar. Ia berjalan dengan cepat menuju sungai Niel. Saya ikuti arah jalannya. Dan ternyata di tepi sungai itu sudah ada seekor kodok yang nampak sedang menunggunya. Kalajengking tersebut langsung melompat ke punggung kodok itu.
Dan kodok segera membawanya ke arah tepi sungai yang lain. Saya segera mengambil perahau kecil dan berangkat menuju ke arah yang dituju kedua binatang itu. Setibanya di tepi sungai, Kalajengking segera melompat kedaratan dan bergerak menuju ke arah tertentu. Pandangan saya terus terkonsentrasi mengikutinya. Di arah yang sama saya melihat seorang anak muda yang sedang tidur di bawah pohon. Pun saya melihat seekor ular yang sedang mendekati untuk menyambarnya. Kelajengking nampaknya bergegas menuju ke sana. Tak lama kemudian saya melihat sebuah pertarungan yang sengit antara Kalajengking dan ular itu. Pertarungan yang cukup lama membuat keduanya sama-sama mati. Dan anak muda selamat dari sambaran ular".
(Mafaatiihul Ghaib, oleh Imam Ar Razi, Jilid:1,hal:237) Maha suci Allah yang telah mengutus seekor Kalajengking dan seekor kodok untuk menyelamatkan hambaNya yang tak berdaya.
Dalam keseharian hidup - disadari atau tidak - kita sering mengalami pertolongan Allah, terutama saat kita berada dalam posisi yang sangat sulit.
Kita sering dimanja dengan kasih sayangNya. Tapi kita sering melupakannya.
Bahkan kita sering menganggap bahwa keberhasilan yang kita capai itu karena kehebatan kita. Akibatn ya kita sering sombong dengan nikmat-nikmat yang sebenarnya hanyalah karunia Allah SWT. Akibatnya lagi, kita begitu mudah melanggar hukum-hukumNya, dengan berbagai alasan yang kita bikin sendiri.
Senin, 31 Januari 2011
JAWABAN SEORANG MURID
Suatu ketika, Syafiq Al-Balkhi bertanya kepada muridnya, Hatim Al-Asham, "Apakah pelajaran yang dapat engkau petik sejak menemaniku?"
Mendengar pertanyaan dari Sang Guru, Hatim menjawab, "Ada enam pelajaran yang dapat aku petik. Pertama, ketika aku melihat manusia selalu mencemaskan masalah rezeki sedangkan mereka bakhil dengan apa yang sudah mereka dapat dan tamak dengannya. Karena aku termasuk makhluk yang menjalar di muka bumi, maka aku tidak meresahkan hatiku apa yang telah dijamin Yang Maha Kuasa."
Syafiq mendengar dengan seksama, "Bagus", ujarnya.
"Yang kedua, karena aku melihat semua orang mempunyai teman yang menjadi tempat pengaduannya untuk mengatakan semua permasalahan dan rahasianya, sedangkan mereka tidak membelanya pada waktu temannya susah. Aku menjadikan amal shaleh sebagai temanku agar ia dapat membantuku pada waktu hisab dan membuatku dihadapkan kepada Allah."
"Bagus," kata Syafiq lagi, dengan terus menanti uraian kalimat berikutnya dari sang murid.
"Ketiga, aku melihat setiap orang yang menggunjingku bukanlah musuhku, bukan orang yang menzalimiku, bukan pula orang yang berbuat jahat kepadaku. Tapi orang-orang tersebut akan memberiku keuntungan dari kebaikan mereka dan akan menanggung dosa-dosaku. Musuhku adalah orang-orang yang apabila aku mentaati Allah, mereka menggodaku untuk melakukan kedurhakaan. Aku menganggap bahwa mereka itu adalah iblis, nafsu, dunia, dan hawa. Oleh karena itu aku menjadikan mereka sebagai musuhku. Aku akan berhati-hati dengan mereka dan mempersiapkan segala sesuatu untuk memerangi mereka. Aku tidak akan membiarkan mereka mendekatiku."
Syafiq masih dengan ketekunannya memperhatikan ucapan muridnya itu. "Bagus," katanya lagi.
"Keempat, aku melihat setiap makhluk hidup dalam keadaan diburu, dan pemburu tersebut adalah malaikat maut. Maka aku mempersiapkan diri untuk menemuinya dan akan segera menyambutnya tanpa penghalang."
"Bagus," ungkap Syafiq lagi.
"Kelima, aku melihat semua manusia selalu dalam keadaan saling menyayangi dan saling membenci. Lalu aku mempelajari sebab dari sayang dan benci. Oleh karena itu aku membuang jauh-jauh dariku sifat hasad. Kemudian aku mencintai semua manusia sebagaimana aku mencintai diriku sendiri."
Syafiq berucap lagi menanggapi perkataan muridnya, "Bagus!"
"Keenam, aku melihat setiap orang yang bertempat pasti akan berpisah dengan tempatnya. Maka aku melihat bahwa tempat kembali semua orang yang menetap tersebut adalah kubur. Oleh karena itu, aku mempersiapkan untuknya segala persiapan berupa amal-amal shaleh untuk menetap di tempatku yang baru tersebut sedangkan tidak ada tempat di belakangku kecuali surga dan neraka."
Untuk kesekiankalinya, Syafiq berkata lagi, "Bagus," ujarnya seraya menutup pembicaraan.
Mendengar pertanyaan dari Sang Guru, Hatim menjawab, "Ada enam pelajaran yang dapat aku petik. Pertama, ketika aku melihat manusia selalu mencemaskan masalah rezeki sedangkan mereka bakhil dengan apa yang sudah mereka dapat dan tamak dengannya. Karena aku termasuk makhluk yang menjalar di muka bumi, maka aku tidak meresahkan hatiku apa yang telah dijamin Yang Maha Kuasa."
Syafiq mendengar dengan seksama, "Bagus", ujarnya.
"Yang kedua, karena aku melihat semua orang mempunyai teman yang menjadi tempat pengaduannya untuk mengatakan semua permasalahan dan rahasianya, sedangkan mereka tidak membelanya pada waktu temannya susah. Aku menjadikan amal shaleh sebagai temanku agar ia dapat membantuku pada waktu hisab dan membuatku dihadapkan kepada Allah."
"Bagus," kata Syafiq lagi, dengan terus menanti uraian kalimat berikutnya dari sang murid.
"Ketiga, aku melihat setiap orang yang menggunjingku bukanlah musuhku, bukan orang yang menzalimiku, bukan pula orang yang berbuat jahat kepadaku. Tapi orang-orang tersebut akan memberiku keuntungan dari kebaikan mereka dan akan menanggung dosa-dosaku. Musuhku adalah orang-orang yang apabila aku mentaati Allah, mereka menggodaku untuk melakukan kedurhakaan. Aku menganggap bahwa mereka itu adalah iblis, nafsu, dunia, dan hawa. Oleh karena itu aku menjadikan mereka sebagai musuhku. Aku akan berhati-hati dengan mereka dan mempersiapkan segala sesuatu untuk memerangi mereka. Aku tidak akan membiarkan mereka mendekatiku."
Syafiq masih dengan ketekunannya memperhatikan ucapan muridnya itu. "Bagus," katanya lagi.
"Keempat, aku melihat setiap makhluk hidup dalam keadaan diburu, dan pemburu tersebut adalah malaikat maut. Maka aku mempersiapkan diri untuk menemuinya dan akan segera menyambutnya tanpa penghalang."
"Bagus," ungkap Syafiq lagi.
"Kelima, aku melihat semua manusia selalu dalam keadaan saling menyayangi dan saling membenci. Lalu aku mempelajari sebab dari sayang dan benci. Oleh karena itu aku membuang jauh-jauh dariku sifat hasad. Kemudian aku mencintai semua manusia sebagaimana aku mencintai diriku sendiri."
Syafiq berucap lagi menanggapi perkataan muridnya, "Bagus!"
"Keenam, aku melihat setiap orang yang bertempat pasti akan berpisah dengan tempatnya. Maka aku melihat bahwa tempat kembali semua orang yang menetap tersebut adalah kubur. Oleh karena itu, aku mempersiapkan untuknya segala persiapan berupa amal-amal shaleh untuk menetap di tempatku yang baru tersebut sedangkan tidak ada tempat di belakangku kecuali surga dan neraka."
Untuk kesekiankalinya, Syafiq berkata lagi, "Bagus," ujarnya seraya menutup pembicaraan.
ISTANA UMAR
"Dimanakan istana raja negeri ini?" tanya seorang Yahudi dari Mesir yang baru saja tiba di pusat pemerintahan Islam, Madinah.
"Lepas Dzuhur nanti beliau akan berada di tempat istirahatnya di depan masjid, dekat batang kurma itu," jawab lelaki yang ditanya.
Dalam benak si Yahudi Mesir itu terbayang keindahan istana khalifah. Apalagi umat Islam sedang di puncak jayanya. Tentu bangunan kerajaannya pastilah sebuah bangunan yang megah dengan dihiasi kebun kurma yang rindang tempat berteduh khalifah.
Namun, lelaki itu tidak mendapati dalam kenyataan bangunan yang ada dalam benaknya itu. Dia jadi bingung dibuatnya. Sebab di tempat yang ditunjuk oleh lelaki yang ditanya tadi tidak ada bangunan megah yang mirip istana. Memang ada pohon kurma tetapi cuman sebatang. Di bawah pohon kurma, tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar memakai jubah kusam. Lelaki berjubah kusam itu tampak tidur-tiduran ayam atau mungkin juga sedang berdzikir. Yahudi itu tidak punya pilihan selain mendekati lelaki yang bersender di bawah batang kurma, "Maaf, saya ingin bertemu dengan Umar bin Khattab," tanyanya.
Lelaki yang ditanya bangkit, "Akulah Umar bin Khattab."
Yahudi itu terbengong-bengong, "Maksud saya Umar yang khalifah, pemimpin negeri ini," katanya menegaskan.
"Ya, akulah khalifah pemimpin negeri ini," kata Umar bin Khattab tak kalah tegas.
Mulut Yahudi itu terkunci, takjub bukan buatan. Jelas semua itu jauh dari bayangannya. Jauh sekali kalau dibandingkan dengan para rahib Yahudi yang hidupnya serba wah. Itu baru kelas rahib, tentu akan lebih jauh lagi kalau dibandingkan dengan gaya hidup rajanya yang sudah jamak hidup dengan istana serba gemerlap.
Sungguh sama sekali tidak terlintas di benaknya, ada seorang pemimpin yang kaumnya tengah berjaya, tempat istirahatnya cuma dengan menggelar selembar tikar di bawah pohon kurma beratapkan langit lagi.
"Di manakah istana tuan?" tanya si Yahudi di antara rasa penasarannya.
Khalifah Umar bin Khattab menuding, "Kalau yang kau maksud kediamanku maka dia ada di sudut jalan itu, bangunan nomor tiga dari yang terakhir."
"Itu? Bangunan yang kecil dan kusam?"
"Ya! Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada di dalam hati yang tentram dengan ibadah kepada Allah."
Yahudi itu tertunduk. Hatinya yang semula panas oleh kemarahan karena ditimbuni berbagai rasa tidak puas hingga kemarahannya memuncak, cair sudah. "Tuan, saksikanlah, sejak hari ini saya yakini kebenaran agama Tuan. Ijinkan saya menjadi pemeluk Islam sampai mati."
Mata si Yahudi itu terasa hangat lalu membentuk kolam. Akhirnya satu-persatu tetes air matanya jatuh.
"Lepas Dzuhur nanti beliau akan berada di tempat istirahatnya di depan masjid, dekat batang kurma itu," jawab lelaki yang ditanya.
Dalam benak si Yahudi Mesir itu terbayang keindahan istana khalifah. Apalagi umat Islam sedang di puncak jayanya. Tentu bangunan kerajaannya pastilah sebuah bangunan yang megah dengan dihiasi kebun kurma yang rindang tempat berteduh khalifah.
Namun, lelaki itu tidak mendapati dalam kenyataan bangunan yang ada dalam benaknya itu. Dia jadi bingung dibuatnya. Sebab di tempat yang ditunjuk oleh lelaki yang ditanya tadi tidak ada bangunan megah yang mirip istana. Memang ada pohon kurma tetapi cuman sebatang. Di bawah pohon kurma, tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar memakai jubah kusam. Lelaki berjubah kusam itu tampak tidur-tiduran ayam atau mungkin juga sedang berdzikir. Yahudi itu tidak punya pilihan selain mendekati lelaki yang bersender di bawah batang kurma, "Maaf, saya ingin bertemu dengan Umar bin Khattab," tanyanya.
Lelaki yang ditanya bangkit, "Akulah Umar bin Khattab."
Yahudi itu terbengong-bengong, "Maksud saya Umar yang khalifah, pemimpin negeri ini," katanya menegaskan.
"Ya, akulah khalifah pemimpin negeri ini," kata Umar bin Khattab tak kalah tegas.
Mulut Yahudi itu terkunci, takjub bukan buatan. Jelas semua itu jauh dari bayangannya. Jauh sekali kalau dibandingkan dengan para rahib Yahudi yang hidupnya serba wah. Itu baru kelas rahib, tentu akan lebih jauh lagi kalau dibandingkan dengan gaya hidup rajanya yang sudah jamak hidup dengan istana serba gemerlap.
Sungguh sama sekali tidak terlintas di benaknya, ada seorang pemimpin yang kaumnya tengah berjaya, tempat istirahatnya cuma dengan menggelar selembar tikar di bawah pohon kurma beratapkan langit lagi.
"Di manakah istana tuan?" tanya si Yahudi di antara rasa penasarannya.
Khalifah Umar bin Khattab menuding, "Kalau yang kau maksud kediamanku maka dia ada di sudut jalan itu, bangunan nomor tiga dari yang terakhir."
"Itu? Bangunan yang kecil dan kusam?"
"Ya! Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada di dalam hati yang tentram dengan ibadah kepada Allah."
Yahudi itu tertunduk. Hatinya yang semula panas oleh kemarahan karena ditimbuni berbagai rasa tidak puas hingga kemarahannya memuncak, cair sudah. "Tuan, saksikanlah, sejak hari ini saya yakini kebenaran agama Tuan. Ijinkan saya menjadi pemeluk Islam sampai mati."
Mata si Yahudi itu terasa hangat lalu membentuk kolam. Akhirnya satu-persatu tetes air matanya jatuh.
HARGA SEBUAH KERAJAAN
Adalah Ali Syaqiq bin Ibrahim Al Azdi yang hidup di daerah Balkh pada kurun abad 8 M. Selain berdagang, ia menekuni tasauf dan ikut berperang di medan jihad.
Suatu waktu ia menunaikan ibadah haji ke Makkah. Dalam perjalanannya menuju Ka'bah itu ia singgah di Baghdad yang saat itu dipimpin oleh khalifah Harun Al-Rasyid. Mendengar keberadaan Syaqiq yang memang terkenal dengan kefaqihannya di Baghdad, Harun Al-Rasyid memanggilnya ke istana.
"Wahai Syaqiq, berilah aku nasihat!" sambutnya setelah Syaqiq tiba di hadapan.
"Jika demikian, maka dengarkanlah wahai Khalifah," Syaqiq mulai angkat bicara, "Allah yang Maha Besar telah memberimu kedudukan Abu Bakar dan Dia menghendaki kesetiaan darimu. Allah memberikan kedudukan Umar yang dapat membedakan kebenaran dengan kepalsuan, maka Ia menghendaki hal yang sama darimu. Allah telah memberi kedudukan Utsman yang memiliki kesederhanaan dan kemuliaan. Ia juga menghendaki engkau bersikap sederhana dan mulia. Allah telah memberikan kedudukan Ali yang diberkahi-Nya dengan kebijaksanaan dan sikap adil, maka bijaksana dan adillah."
Khalifah tampak sungguh-sungguh mendengarkan uraian Syaqiq, "Lanjutkan," pinta Harun kemudian.
"Allah mempunyai tempat yang diberi nama neraka," kata Syaqiq, "Ia mengangkatmu menjadi penjaganya dan mempersenjataimu dengan tiga hal: kekayaan, pedang, dan cemeti untuk mengusir manusia dari neraka. Jika ada yang datang meminta pertolonganmu, janganlah bersikap kikir. Jika ada yang menentang perintah Allah, perbaikilah dirinya dengan cemeti, dan jika ada yang membunuh saudaranya, tuntutlah pembalasan yang adil dengan pedang itu."
"Tambah lagi," desak Harun.
"Engkau adalah sebuah telaga dan anak buahmu adalah anak-anak sungainya. Apabila telaga itu airnya bening, niscaya tidak akan keruh anak-anak sungai itu. namun apabila telaga itu keruh, bagaimana mungkin anak-anak sungai akan bening?"
"Teruskan!" seru Harun penasaran.
"Seandainya engkau hampir mati kehausan di tengah padang pasir dan pada saat itu ada seseorang menawarkan segelas air, berapakah harga yang berani engkau bayar untuk mendapatkan air itu?"
"Aku akan memberikan setengah dari kerajaanku," jawab sang khalifah dengan mantap.
"Kemudian andaikan pula air yang telah engkau minum itu tidak dapat keluar dari tubuhmu sehingga engkau terancam binasa," kata Syaqiq, "Maukah engkau menyerahkan kerajaanmu yang separuhnya lagi untuk mendapatkan kesembuhan?"
"Akan kuterima tawaran itu," tegas Harun.
"Maka mengapa engkau membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya segelas air yang engkau minum lantas engkau keluarkan lagi?"
Demi mendengar itu, Harun pun menangis. Tak lama kemudian, ia melepas kepergian Syaqiq dengan penuh kehormatan.
Suatu waktu ia menunaikan ibadah haji ke Makkah. Dalam perjalanannya menuju Ka'bah itu ia singgah di Baghdad yang saat itu dipimpin oleh khalifah Harun Al-Rasyid. Mendengar keberadaan Syaqiq yang memang terkenal dengan kefaqihannya di Baghdad, Harun Al-Rasyid memanggilnya ke istana.
"Wahai Syaqiq, berilah aku nasihat!" sambutnya setelah Syaqiq tiba di hadapan.
"Jika demikian, maka dengarkanlah wahai Khalifah," Syaqiq mulai angkat bicara, "Allah yang Maha Besar telah memberimu kedudukan Abu Bakar dan Dia menghendaki kesetiaan darimu. Allah memberikan kedudukan Umar yang dapat membedakan kebenaran dengan kepalsuan, maka Ia menghendaki hal yang sama darimu. Allah telah memberi kedudukan Utsman yang memiliki kesederhanaan dan kemuliaan. Ia juga menghendaki engkau bersikap sederhana dan mulia. Allah telah memberikan kedudukan Ali yang diberkahi-Nya dengan kebijaksanaan dan sikap adil, maka bijaksana dan adillah."
Khalifah tampak sungguh-sungguh mendengarkan uraian Syaqiq, "Lanjutkan," pinta Harun kemudian.
"Allah mempunyai tempat yang diberi nama neraka," kata Syaqiq, "Ia mengangkatmu menjadi penjaganya dan mempersenjataimu dengan tiga hal: kekayaan, pedang, dan cemeti untuk mengusir manusia dari neraka. Jika ada yang datang meminta pertolonganmu, janganlah bersikap kikir. Jika ada yang menentang perintah Allah, perbaikilah dirinya dengan cemeti, dan jika ada yang membunuh saudaranya, tuntutlah pembalasan yang adil dengan pedang itu."
"Tambah lagi," desak Harun.
"Engkau adalah sebuah telaga dan anak buahmu adalah anak-anak sungainya. Apabila telaga itu airnya bening, niscaya tidak akan keruh anak-anak sungai itu. namun apabila telaga itu keruh, bagaimana mungkin anak-anak sungai akan bening?"
"Teruskan!" seru Harun penasaran.
"Seandainya engkau hampir mati kehausan di tengah padang pasir dan pada saat itu ada seseorang menawarkan segelas air, berapakah harga yang berani engkau bayar untuk mendapatkan air itu?"
"Aku akan memberikan setengah dari kerajaanku," jawab sang khalifah dengan mantap.
"Kemudian andaikan pula air yang telah engkau minum itu tidak dapat keluar dari tubuhmu sehingga engkau terancam binasa," kata Syaqiq, "Maukah engkau menyerahkan kerajaanmu yang separuhnya lagi untuk mendapatkan kesembuhan?"
"Akan kuterima tawaran itu," tegas Harun.
"Maka mengapa engkau membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya segelas air yang engkau minum lantas engkau keluarkan lagi?"
Demi mendengar itu, Harun pun menangis. Tak lama kemudian, ia melepas kepergian Syaqiq dengan penuh kehormatan.
HIKMAH SEBUAH KECELAKAAN
Suatu hari Imam Syafii datang ke Ka’bah. Dia melihat seorang mantan uskup sedang thawaf. Sang Imam bertanya, “Apa yang menyebabkanmu meninggalkan agamamu?"
“Saya mendapat ganti yang lebih baik,” jawab mantan uskup. “Ketika saya naik kapal dan berada di tengah laut, tiba-tiba kapal itu pecah. Saya selamat di atas papan yang dibawa arus gelombang kesana kemari. Saya terdampar di suatu pulau yang banyak pohon yang lebih manis dari madu dan lebih lunak dari mentega. Di situ ada sungai yang mengalir dengan air yang segar. Lalu saya mengucap, ‘Alhamdulillah atas nikmat itu.’
Saya dapat makan minum sampai Allah mendatangkan kelapangan. Ketika malam, saya tidur di atas pohon. Ketika tengah malam, ada binatang di atas permukaan air yang bertasbih dengan suara yang jelas, “Laa ilaha illallahul Ghaffar, Muhammad Rasulullah annabiyul mukhtar.”
Ketika binatang itu naik ke darat tiba-tiba binatang tersebut berkepala burung kasuari dan bermuka manusia. Kakinya unta berekor ikan. Saya sangat takut dan turun. Ketika mencoba lari tiba-tiba binatang itu menoleh kepadaku dan berkata, “Berhentilah! Jika tidak, kau binasa!”
Saya berhenti. Binatang itu mengajukan pertanyaan, “Apa agamamu?”
“Kristen,” jawabku.
“Celaka wahai orang yang rugi. Lekas kau kembali pada Islam. Sebab kamu kini berada di daerah jin-jin Mukmin dan tidak akan selamat dari sini kecuali orang Muslim.”
“Bagaimana caranya masuk Islam?”
“Membaca syahadat."
Saya pun membacanya. Dia bertanya padaku, “Kamu akan tinggal di sini atau pulang ke rumah?”
“Aku akan kembali ke keluargaku!”
“Tinggallah di sini hingga tiba kapal.”
Akhirnya saya tinggal di tempat itu sampai tibanya kapal dan binatang itu kembali ke laut. Belum lenyap binatang itu dari pandangan tiba-tiba datang kapal yang penuh dengan penumpang. Seketika itu juga saya beri isyarat. Kapal itu menghampiri dan membawaku. Di kapal saya bertemu dengan dua belas orang Kristen. Ketika mereka bertanya, “Apakah gerangan yang menimpamu?”
Saya menceritakan semua yang saya alami. Mereka menangis dan masuk Islam."
Imam Syafii tersenyum senang mendengar kisah itu.
“Saya mendapat ganti yang lebih baik,” jawab mantan uskup. “Ketika saya naik kapal dan berada di tengah laut, tiba-tiba kapal itu pecah. Saya selamat di atas papan yang dibawa arus gelombang kesana kemari. Saya terdampar di suatu pulau yang banyak pohon yang lebih manis dari madu dan lebih lunak dari mentega. Di situ ada sungai yang mengalir dengan air yang segar. Lalu saya mengucap, ‘Alhamdulillah atas nikmat itu.’
Saya dapat makan minum sampai Allah mendatangkan kelapangan. Ketika malam, saya tidur di atas pohon. Ketika tengah malam, ada binatang di atas permukaan air yang bertasbih dengan suara yang jelas, “Laa ilaha illallahul Ghaffar, Muhammad Rasulullah annabiyul mukhtar.”
Ketika binatang itu naik ke darat tiba-tiba binatang tersebut berkepala burung kasuari dan bermuka manusia. Kakinya unta berekor ikan. Saya sangat takut dan turun. Ketika mencoba lari tiba-tiba binatang itu menoleh kepadaku dan berkata, “Berhentilah! Jika tidak, kau binasa!”
Saya berhenti. Binatang itu mengajukan pertanyaan, “Apa agamamu?”
“Kristen,” jawabku.
“Celaka wahai orang yang rugi. Lekas kau kembali pada Islam. Sebab kamu kini berada di daerah jin-jin Mukmin dan tidak akan selamat dari sini kecuali orang Muslim.”
“Bagaimana caranya masuk Islam?”
“Membaca syahadat."
Saya pun membacanya. Dia bertanya padaku, “Kamu akan tinggal di sini atau pulang ke rumah?”
“Aku akan kembali ke keluargaku!”
“Tinggallah di sini hingga tiba kapal.”
Akhirnya saya tinggal di tempat itu sampai tibanya kapal dan binatang itu kembali ke laut. Belum lenyap binatang itu dari pandangan tiba-tiba datang kapal yang penuh dengan penumpang. Seketika itu juga saya beri isyarat. Kapal itu menghampiri dan membawaku. Di kapal saya bertemu dengan dua belas orang Kristen. Ketika mereka bertanya, “Apakah gerangan yang menimpamu?”
Saya menceritakan semua yang saya alami. Mereka menangis dan masuk Islam."
Imam Syafii tersenyum senang mendengar kisah itu.
BUAH KEIKHLASAN
Dikisahkan, Abdullah bin Mubarak mempunyai suatu kebiasaan yaitu melaksanakan ibadah haji pada suatu tahun dan kemudian berperang fi sabilillah pada tahun berikutnya. Pada suatu kali, aku pergi ke pasar unta Kufah untuk membeli unta dengan membawa 500 dinar uang emas. Di tengah perjalanan, aku melihat seorang perempuan yang sedang membersihkan bulu itik, sedangkan aku yakin bahwa bulu itik itu berasal dari itik yang sudah mati alias bangkai. Aku terperanjat, kemudian mendekatinya dan berkata, "Mengapa engkau melakukan hal ini?"
Dengan sigap si perempuan menjawab, "Wahai hamba Allah, janganlah engkau bertanya kepadaku tentang perkara yang tidak bermanfaat bagimu."
Dari jawabannya, aku dapat memahami bahwa sesuatu telah terjadi dengannya. Mesti ada 'apa-apanya' dengan perempuan itu. Tak puas dengan jawaban sederhana itu aku mendesaknya dengan satu kali lagi pertanyaan, "Mengapa engkau melakukan itu?"
Akhirnya perempuan itu menjawab, "Wahai hamba Allah, aku terpaksa mengatakan sebuah rahasia kepadamu. Semoga Allah merahmatimu. Aku memiliki empat orang anak sedangkan ayah dari anak-anakku itu telah berpulang ke rahmatullah beberapa waktu yang lalu. Hari ini adalah hari keempat kami tidak memakan apa-apa. Oleh karena itu, adalah halal bagi kami untuk memakan bangkai dalam keadaan darurat seperti ini. Kemudian aku mengambil bangkai itik ini. Seperti yang engkau lihat, saat ini aku sedang membersihkannya untuk kuberikan kepada anak-anakku."
Mendengar pengakuan polos itu aku bergumam pada diriku sendiri, "Celakalah engkau wahai Ibnu Mubarak, betapa senang keadaanmu dibanding orang itu." Kemudian aku berkata pada perempuan tersebut, "Bukalah kantongmu." Serta merta kumasukkan semua uang dinarku ke dalam kantong perempuan itu sedangkan ia terdiam dan tidak menoleh. Aku berujar lagi kepadanya, "Kembalilah ke rumahmu dengan uang ini dan perbaikilah kondisi keluargamu." Begitulah, Pada tahun itu Allah telah mencabut dari diriku keinginan untuk menunaikan ibadah haji dan aku segera kembali ke negeriku.
Tak lama setelah para jamaah haji pulang, aku menemui dan bertamu ke rumah beberapa orang kerabatku yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji. Sesama mereka saling berucap, "Semoga Allah menerima hajimu dan membalas segala usahamu." Namun sungguh aneh terdengar di telingaku ketika mereka juga mengatakan hal yang sama padaku, "Semoga Allah menerima hajimu dan membalas segala usahamu. Bukankah kami telah bertemu denganmu pada beberapa tempat ini dan itu pada waktu menunaikan ibadah haji itu ?"
Ya. Subhanallah, kebanyakan mereka mengatakan hal yang sama kepadaku. Aku semakin tertegun dengan kenyataan ini. Kemudian dalam mimpiku aku melihat Nabi Muhammad SAW seraya berkata kepadaku, "Wahai hamba Allah, janganlah engkau heran, sesungguhnya engkau telah menolong seorang yang sengsara dari kerabatku, maka aku meminta kepada Allah agar menciptakan aeorang malaikat yang serupa bentuknya denganmu untuk menghajikanmu."
Dengan sigap si perempuan menjawab, "Wahai hamba Allah, janganlah engkau bertanya kepadaku tentang perkara yang tidak bermanfaat bagimu."
Dari jawabannya, aku dapat memahami bahwa sesuatu telah terjadi dengannya. Mesti ada 'apa-apanya' dengan perempuan itu. Tak puas dengan jawaban sederhana itu aku mendesaknya dengan satu kali lagi pertanyaan, "Mengapa engkau melakukan itu?"
Akhirnya perempuan itu menjawab, "Wahai hamba Allah, aku terpaksa mengatakan sebuah rahasia kepadamu. Semoga Allah merahmatimu. Aku memiliki empat orang anak sedangkan ayah dari anak-anakku itu telah berpulang ke rahmatullah beberapa waktu yang lalu. Hari ini adalah hari keempat kami tidak memakan apa-apa. Oleh karena itu, adalah halal bagi kami untuk memakan bangkai dalam keadaan darurat seperti ini. Kemudian aku mengambil bangkai itik ini. Seperti yang engkau lihat, saat ini aku sedang membersihkannya untuk kuberikan kepada anak-anakku."
Mendengar pengakuan polos itu aku bergumam pada diriku sendiri, "Celakalah engkau wahai Ibnu Mubarak, betapa senang keadaanmu dibanding orang itu." Kemudian aku berkata pada perempuan tersebut, "Bukalah kantongmu." Serta merta kumasukkan semua uang dinarku ke dalam kantong perempuan itu sedangkan ia terdiam dan tidak menoleh. Aku berujar lagi kepadanya, "Kembalilah ke rumahmu dengan uang ini dan perbaikilah kondisi keluargamu." Begitulah, Pada tahun itu Allah telah mencabut dari diriku keinginan untuk menunaikan ibadah haji dan aku segera kembali ke negeriku.
Tak lama setelah para jamaah haji pulang, aku menemui dan bertamu ke rumah beberapa orang kerabatku yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji. Sesama mereka saling berucap, "Semoga Allah menerima hajimu dan membalas segala usahamu." Namun sungguh aneh terdengar di telingaku ketika mereka juga mengatakan hal yang sama padaku, "Semoga Allah menerima hajimu dan membalas segala usahamu. Bukankah kami telah bertemu denganmu pada beberapa tempat ini dan itu pada waktu menunaikan ibadah haji itu ?"
Ya. Subhanallah, kebanyakan mereka mengatakan hal yang sama kepadaku. Aku semakin tertegun dengan kenyataan ini. Kemudian dalam mimpiku aku melihat Nabi Muhammad SAW seraya berkata kepadaku, "Wahai hamba Allah, janganlah engkau heran, sesungguhnya engkau telah menolong seorang yang sengsara dari kerabatku, maka aku meminta kepada Allah agar menciptakan aeorang malaikat yang serupa bentuknya denganmu untuk menghajikanmu."
CERDIK DALAM MENDIDIK
CERDIK DALAM MENDIDIK
Seorang lelaki menemui Ibrahim bin Adham ra, lalu berkata, "Waha Aba Ishak! Selama ini aku gemar bermaksiat. Tolong berikan aku nasihat."
Setelah mendengar perkataan tersebut, Ibrahim ra berkata, "Jika kamu mau menerima lima syarat dan mampu melaksanakannya, maka boleh saja kamu melakukan maksiat."
Lelaki itu dengan penasaran bertanya, "Apa saja syarat-syarat itu, wahau Aba Ishak?"
Ibrahim bin Adham berkata, "Syarat pertama, jika kamu mau bermaksiat kepada Allah, jangan memakan rezekinya."
Ia mengernyitkan keningnya seraya berkata, "Lalu aku mau makan dari mana? Bukankah semua yang ada di bumi ini rezeki Allah?"
"Ya," tegas Ibrahim bin Adham, "Kalau kamu sudah memahaminya, masih pantaskah memakan rezekinya sementara kamu selalu berkeinginan melanggar larangan-Nya?"
"Baiklah," jawab lelaki itu menyerah, "Lalu apa lagi yang berikutnya?"
"Kalau mau bermaksiat jangan tinggal di bumi-Nya! Ibrahim bin Adham lebih tegas menjawabnya.
Syarat ini membuat lelaki itu kaget setengah mati. Ibrahim kembali berkata kepadanya, "Wahai abdullah, pikirkanlah, apakah kamu layak memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya sementara kamu melanggar segala larangan-Nya?"
"Ya, Anda benar," kembali lelaki itu pasrah, "Lalu apa syarat ketiga?"
"Kalau kamu masih mau bermaksiat, carilah tempat tersembunyi yang tidak dapat terlihat oleh-Nya!"
Syarat ini kembali membuat lelaki itu terperanjat, "Wahai Ibrahim, ini nasihat macam apa? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?"
"Nah, kalau memang yakin demikian, apakah kamu masih berkeinginan berlaku maksiat?" Ucapan ini membuat lelaki itu kembali tak berkutik dan harus membenarkan semua ucapan sang imam.
"Baiklah, Aba Ishak, kini apa lagi berikutnya?"
"Kalau malaikat maut datang hendak mencabut ruh-mu, katakanlah kepadanya, mundurkan kematianku dulu. Aku masih mau bertaubat dan melakuikan amal shalih."
Kembali lelaki itu menggelengkan kepala dan segera tersadar, "Wahai Ibrahim, mana mungkin malaikat maut akan memenuhi permohonanku."
"Wahai abdullah, kalau kamu sudah meyakini bahwa kamu tidak bisa menunda dan mengundurkan datangnya kematianmu, lalu bagaimana engkau bisa lari dari murka Allah?"
"Baiklah, apa syarat yang kelima?"
Ibrahim bin Adham ra sekali lagi berpetuah kepada lelaki itu, "Wahai abdullah, kalau malaikat Zabaniah datang hendak menggiringmu ke api neraka di hari kiamat nanti, jangan engkau mau ikut bersamanya."
Perkataan tersebut membuat lelaki itu sadar. Dia berkata, "Wahai Aba Ishak, sudah pasti malaikat itu tidak membiarkan aku menolak kehendaknya."
"Kalau begitu, bagaimana kamu dapat menyelamatkan diri, wahai abdullah?"
Ia tidak tahan lagi mendengar perkataan Ibrahim. Dia menangis dan dengan wajah penyesalan berkata, "Ibrahim, cukup, jangan kamu teruskan lagi. Mulai saat ini aku bertaubat kepada Allah."
Sejak saat itu, ia benar-benar bertaubat kepada Allah. Semua ibadah ia tekuni dengan baik dan penuh kekhusyukan hingga menemui ajalnya.
Seorang lelaki menemui Ibrahim bin Adham ra, lalu berkata, "Waha Aba Ishak! Selama ini aku gemar bermaksiat. Tolong berikan aku nasihat."
Setelah mendengar perkataan tersebut, Ibrahim ra berkata, "Jika kamu mau menerima lima syarat dan mampu melaksanakannya, maka boleh saja kamu melakukan maksiat."
Lelaki itu dengan penasaran bertanya, "Apa saja syarat-syarat itu, wahau Aba Ishak?"
Ibrahim bin Adham berkata, "Syarat pertama, jika kamu mau bermaksiat kepada Allah, jangan memakan rezekinya."
Ia mengernyitkan keningnya seraya berkata, "Lalu aku mau makan dari mana? Bukankah semua yang ada di bumi ini rezeki Allah?"
"Ya," tegas Ibrahim bin Adham, "Kalau kamu sudah memahaminya, masih pantaskah memakan rezekinya sementara kamu selalu berkeinginan melanggar larangan-Nya?"
"Baiklah," jawab lelaki itu menyerah, "Lalu apa lagi yang berikutnya?"
"Kalau mau bermaksiat jangan tinggal di bumi-Nya! Ibrahim bin Adham lebih tegas menjawabnya.
Syarat ini membuat lelaki itu kaget setengah mati. Ibrahim kembali berkata kepadanya, "Wahai abdullah, pikirkanlah, apakah kamu layak memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya sementara kamu melanggar segala larangan-Nya?"
"Ya, Anda benar," kembali lelaki itu pasrah, "Lalu apa syarat ketiga?"
"Kalau kamu masih mau bermaksiat, carilah tempat tersembunyi yang tidak dapat terlihat oleh-Nya!"
Syarat ini kembali membuat lelaki itu terperanjat, "Wahai Ibrahim, ini nasihat macam apa? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?"
"Nah, kalau memang yakin demikian, apakah kamu masih berkeinginan berlaku maksiat?" Ucapan ini membuat lelaki itu kembali tak berkutik dan harus membenarkan semua ucapan sang imam.
"Baiklah, Aba Ishak, kini apa lagi berikutnya?"
"Kalau malaikat maut datang hendak mencabut ruh-mu, katakanlah kepadanya, mundurkan kematianku dulu. Aku masih mau bertaubat dan melakuikan amal shalih."
Kembali lelaki itu menggelengkan kepala dan segera tersadar, "Wahai Ibrahim, mana mungkin malaikat maut akan memenuhi permohonanku."
"Wahai abdullah, kalau kamu sudah meyakini bahwa kamu tidak bisa menunda dan mengundurkan datangnya kematianmu, lalu bagaimana engkau bisa lari dari murka Allah?"
"Baiklah, apa syarat yang kelima?"
Ibrahim bin Adham ra sekali lagi berpetuah kepada lelaki itu, "Wahai abdullah, kalau malaikat Zabaniah datang hendak menggiringmu ke api neraka di hari kiamat nanti, jangan engkau mau ikut bersamanya."
Perkataan tersebut membuat lelaki itu sadar. Dia berkata, "Wahai Aba Ishak, sudah pasti malaikat itu tidak membiarkan aku menolak kehendaknya."
"Kalau begitu, bagaimana kamu dapat menyelamatkan diri, wahai abdullah?"
Ia tidak tahan lagi mendengar perkataan Ibrahim. Dia menangis dan dengan wajah penyesalan berkata, "Ibrahim, cukup, jangan kamu teruskan lagi. Mulai saat ini aku bertaubat kepada Allah."
Sejak saat itu, ia benar-benar bertaubat kepada Allah. Semua ibadah ia tekuni dengan baik dan penuh kekhusyukan hingga menemui ajalnya.
BERSELIMUT JUBAH RASUL
Suatu hari, Nabi Muhammad saw didatangi Abdullah, putra Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin kaum munafik di Madinah. Dengan wajah sedih, sahabat yang selalu bertentangan dengan ayahnya itu, menceritakan bahwa Abdulah bin Ubay sedang sakit keras. Sang ayah dan menginginkan Rasulullah saw supaya bersedia menjenguknya.
Rasulullah tidak keberatan. Beliau menjenguk rumah dedengkot para pengkhianat yang sangat licik itu. Tiba-tiba, melihat Nabi Muhammad saw berada di dekatnya, Abdullah bin Ubay memelas kepada Nabi Muhammad untuk melepas jubahnya dan menyelimutkannya ke tubuhnya yang tengah meregang menghadapi maut.
Umar bin Khaththab yang saat itu hadir menemani Nabi, memberi isyarat agar Rasulullah saw menolak dan tidak memenuhi keinginan Abdullah bin Ubay. Tapi Nabi Muhammad saw tidak menuruti apa yang diinginkan Umar. Nabi Muhammad saw segera melepas jubahnya dan menutupkannya ke tubuh Abdullah bin Ubay. Keinginan Abdullah bin Ubay terlaksana: meninggal dunia dengan berselimutkan jubah Nabi Muhammad saw.
Tentu saja Umar bin Khaththab merasa penasaran dan heran. Sepulang dari rumah Abdullah bin Ubay, Umar bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, saya tidak habis pikir dengan sikapmu. Saya betul-betul tidak mengerti. Bukankah Abdullah bin Ubay adalah musuh besarmu, dan juga musuh besar umat Islam?
Nabi mengangguk, “Ya betul.”
“Tapi alangkah beruntungnya Abdullah bin Ubay, dapat mati dengan berselimutkan jubahmu. Padahal kami para sahabatmu yang setia, yang senantiasa mendampingimu, belum tentu mendapatkan nasib sebaik itu?”.
Nabi tersenyum dan menjawab, “Sahabatku Umar. Engkau jangan berpikiran sempit. Memang Abdullah bin Ubay meninggal dunia dengan berselimutkan jubahku. Namun ketahuilah, Abdullah bin Ubay takkan selamat karena memakai jubahku. Sebab jubahku takkan menyelamatkan siapa-siapa. Manusia hanya akan selamat karena iman dan amal shalihnya.”
Mendengar penjelasan Nabi, Umar pun tersenyum.
Rasulullah tidak keberatan. Beliau menjenguk rumah dedengkot para pengkhianat yang sangat licik itu. Tiba-tiba, melihat Nabi Muhammad saw berada di dekatnya, Abdullah bin Ubay memelas kepada Nabi Muhammad untuk melepas jubahnya dan menyelimutkannya ke tubuhnya yang tengah meregang menghadapi maut.
Umar bin Khaththab yang saat itu hadir menemani Nabi, memberi isyarat agar Rasulullah saw menolak dan tidak memenuhi keinginan Abdullah bin Ubay. Tapi Nabi Muhammad saw tidak menuruti apa yang diinginkan Umar. Nabi Muhammad saw segera melepas jubahnya dan menutupkannya ke tubuh Abdullah bin Ubay. Keinginan Abdullah bin Ubay terlaksana: meninggal dunia dengan berselimutkan jubah Nabi Muhammad saw.
Tentu saja Umar bin Khaththab merasa penasaran dan heran. Sepulang dari rumah Abdullah bin Ubay, Umar bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, saya tidak habis pikir dengan sikapmu. Saya betul-betul tidak mengerti. Bukankah Abdullah bin Ubay adalah musuh besarmu, dan juga musuh besar umat Islam?
Nabi mengangguk, “Ya betul.”
“Tapi alangkah beruntungnya Abdullah bin Ubay, dapat mati dengan berselimutkan jubahmu. Padahal kami para sahabatmu yang setia, yang senantiasa mendampingimu, belum tentu mendapatkan nasib sebaik itu?”.
Nabi tersenyum dan menjawab, “Sahabatku Umar. Engkau jangan berpikiran sempit. Memang Abdullah bin Ubay meninggal dunia dengan berselimutkan jubahku. Namun ketahuilah, Abdullah bin Ubay takkan selamat karena memakai jubahku. Sebab jubahku takkan menyelamatkan siapa-siapa. Manusia hanya akan selamat karena iman dan amal shalihnya.”
Mendengar penjelasan Nabi, Umar pun tersenyum.
3 HAL MEMBAWA KEUNTUNGAN
Pada suatu hari al-Imam Asy-Syafi'i ra datang berkunjung ke rumah al-Imam Ahmad bin Hambal. Seusai makan malam bersama, al-Imam Asy-Syafi'i masuk ke kamar yang telah disediakan untuknya dan beliau segera berbaring hingga esok fajar.
Puteri Imam Ahmad yang mengamati Imam Syafi'i sejak awal kedatangannya hingga masuk kamar tidur terkejut melihat teman dekat ayahnya itu. Dengan terheran-heran ia bertanya, "Ayah...., ayah selalu memuji dan mengatakan bahwa Imam Syafi'i itu seorang ulama yang amat alim. Tapi setelah kuperhatikan dengan seksama, pada dirinya banyak hal yang tidak berkenan di hatiku, dan tidak sealim yang kukira."
Imam Ahmad agak terkejut mendengar perkataan putrinya. Ia balik bertanya, "Ia seorang yang alim anakku. Mengapa engkau berkata demikian?"
Sang putri berkata lagi, "Aku perhatikan ada tiga hal kekurangannya, Ayah. Pertama, pada waktu disuguhi makanan, makannya lahap sekali. Kedua, sejak masuk ke kamarnya, ia tidak shalat malam dan baru keluar dari kamarnya sesudah tiba shalat subuh. Ketiga, ia shalat subuh tanpa berwudhu."
Imam Ahmad merenungkan perkataan puterinya itu, maka untuk mengetahui lebih jelasnya dia menyampaikan pengamatan puterinya kepada Imam Syafi'i.
Maka Imam Syafi'i tersenyum mendengar pengaduan puteri Imam Ahmad tersebut. Lalu ia berkata, "Ya Ahmad, ketahuilah olehmu. Aku banyak makan di rumahmu karena aku tahu makanan yang ada di rumahmu jelas halal dan thoyib, maka aku tidak meragukannya sama sekali. Karena itulah aku bisa makan dengan lahap. Lagi pula aku tahu engkau adalah seorang pemurah. Makanan orang pemurah itu adalah obat, sedangkan makanan orang kikir adalah penyakit. Aku makan semalam bukan untuk kenyang, akan tetapi untuk berobat dengan makananmu, ya Ahmad. Sedangkan mengapa aku semalam tidak shalat malam, karena ketika aku meletakkan kepalaku di atas bantal tidur, tiba-tiba seakan aku melihat di hadapanku kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Dengan izin Allah, malam itu aku dapat menyusun 72 masalah ilmu fikih Islam sehingga aku tidak sempat shalat malam. Sedangkan kenapa aku tidak wudhu lagi ketika shalat subuh karena aku pada malam itu tidak dapat tidur sekejap pun. Aku semalam tidak tidur sehingga aku shalat fajar dengan wudhu shalat Isya'.
Puteri Imam Ahmad yang mengamati Imam Syafi'i sejak awal kedatangannya hingga masuk kamar tidur terkejut melihat teman dekat ayahnya itu. Dengan terheran-heran ia bertanya, "Ayah...., ayah selalu memuji dan mengatakan bahwa Imam Syafi'i itu seorang ulama yang amat alim. Tapi setelah kuperhatikan dengan seksama, pada dirinya banyak hal yang tidak berkenan di hatiku, dan tidak sealim yang kukira."
Imam Ahmad agak terkejut mendengar perkataan putrinya. Ia balik bertanya, "Ia seorang yang alim anakku. Mengapa engkau berkata demikian?"
Sang putri berkata lagi, "Aku perhatikan ada tiga hal kekurangannya, Ayah. Pertama, pada waktu disuguhi makanan, makannya lahap sekali. Kedua, sejak masuk ke kamarnya, ia tidak shalat malam dan baru keluar dari kamarnya sesudah tiba shalat subuh. Ketiga, ia shalat subuh tanpa berwudhu."
Imam Ahmad merenungkan perkataan puterinya itu, maka untuk mengetahui lebih jelasnya dia menyampaikan pengamatan puterinya kepada Imam Syafi'i.
Maka Imam Syafi'i tersenyum mendengar pengaduan puteri Imam Ahmad tersebut. Lalu ia berkata, "Ya Ahmad, ketahuilah olehmu. Aku banyak makan di rumahmu karena aku tahu makanan yang ada di rumahmu jelas halal dan thoyib, maka aku tidak meragukannya sama sekali. Karena itulah aku bisa makan dengan lahap. Lagi pula aku tahu engkau adalah seorang pemurah. Makanan orang pemurah itu adalah obat, sedangkan makanan orang kikir adalah penyakit. Aku makan semalam bukan untuk kenyang, akan tetapi untuk berobat dengan makananmu, ya Ahmad. Sedangkan mengapa aku semalam tidak shalat malam, karena ketika aku meletakkan kepalaku di atas bantal tidur, tiba-tiba seakan aku melihat di hadapanku kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Dengan izin Allah, malam itu aku dapat menyusun 72 masalah ilmu fikih Islam sehingga aku tidak sempat shalat malam. Sedangkan kenapa aku tidak wudhu lagi ketika shalat subuh karena aku pada malam itu tidak dapat tidur sekejap pun. Aku semalam tidak tidur sehingga aku shalat fajar dengan wudhu shalat Isya'.
Langganan:
Postingan (Atom)