Ketika Khalifah Umar bin Khattab sedang duduk-duduk dengan para sahabat, tiba-tiba datang dua orang laki-laki dengan seorang pemuda yang terikat kedua tangannya.
"Pemuda ini telah membunuh bapak kami wahai Amirul Mukminin," lapor kedua orang itu.
Pemuda yang terikat tangannya turut angkat bicara, "Saya harap Anda mau mendengar cerita saya dulu wahai Amirul Mukminin."
"Cerita? Huh, pokoknya kamu telah membunuh bapak kami dan bagus kami tidak langsung meng-qishas-mu, tapi kami bawa kamu ke Khalifah Umar," ucap kedua pemuda tadi dengan kemarahannya.
"Kalian berdua diamlah dulu, aku hendak mendengar cerita bagaimana kejadian sebenarnya," kata Umar.
Pemuda yang terikat tangannya itu segera bercerita, "Ketika saya tidur istirahat dalam suatu safar, saat saya bangun mendapati onta saya telah raib entah kemana kemudian saya mencarinya. Saya mendapatinya sedang makan tanaman di sebuah kebun. Saya langsung menghalaunya. Onta itu malah menderum.
Tak lama kemudian datanglah seorang syaikh dan langsung melempar onta saya dengan batu. Karena kerasnya lemparan batu itu dan tepat mengenai kepalanya, onta saya mati. Saya marah melihat hal itu. Saya ambil batu, dan saya lempar balik ke kepala syaikh itu hingga tersungkur tak bernyawa. Sungguh saat itu saya tidak bermaksud membunuhnya."
Setelah Umar mendengar cerita pemuda tadi, ia berkata, "Kalau begitu hukumannya adalah kamu dibunuh sebagai qishas."
Pemuda terhukum tadi mengajukan sebuah permintaan. "Aku tidak menolak hukuman itu, tapi aku mempunyai adik. Ayahku telah tiada, dan sebelum meninggalnya ia meninggalkan harta kepadaku. Aku menyimpannya di tempat yang tidak diketahui oleh adikku itu."
"Lantas apa maumu?" sergah Umar.
"Aku minta waktu tiga hari untuk pulang ke kotaku dan memberikan harta itu kepada adikku," jawab si pemuda.
"Siapa yang akan menjadi penjaminmu?" tanya Umar
Sambil menunjuk ke Abu Dzar Al-Ghifary, pemuda itu berkata, "Syaikh ini jaminannya."
Serta merta, Abu Dzar mengiyakan. "Ya saya bersedia."
* * *
Pada hari ketiganya, Khalifah Umar, para sahabat dan dua lelaki itu menunggu pemuda tadi. Ketika hari telah mulai terik dua lelaki tersebut mulai gelisah. "Hari sudah siang tapi pemuda itu belum datang. Kalau tidak datang, Abu Dzar-lah penggantinya," kata kedua lelaki itu.
Dari kejauhan tampak seseorang menunggang kuda, dan ternyata ia adalah pemuda itu.
"Terima kasih wahai Syaikh Pemberani," ucap pemuda itu kepada Abu Dzar. Terharu akan kehadiran si pemuda, kedua lelaki itu berkata serentak, "Kami cabut tuntutan kami wahai Amirul Mukminin, dan kami maafkan pemuda al-wafi (penepat janji) ini."
Mendengar itu, Umar berkata, "Kamu sungguh pemberani wahai Abu Dzar, dan kamu adalah al-wafi wahai pemuda. Dan kalian berdua, kalian adalah mulia. Bersalam-salamlah kalian dan kuatkan ukhuwah di antara kalian."
Cari Blog Ini
Senin, 07 Februari 2011
PELIT
Kaya? Nggak juga! Alhamdulillah cukup materi, tidak berlebihan. Begitulah keadaan saya, saat berkaca pada diri sendiri. Saya katakan berkaca pada diri sendiri, karena nggak mungkin status sosial ekonomi diri ini disejajarkan dengan para anggota DPR, terlebih Wakil Presiden.
Materi boleh dikata lebih. Apalagi jika contohnya berkiblat pada orang-orang Semarang, yang konon lebih dari 20% masyarakatnya tahun ini miskin. Mereka, kaum duafa, jumlahnya sejak tahun 2001 meningkat terus. Padahal, koran-koran memberitakan Semarang termasuk yang berhasil dalam peningkatan sosial ekonomi masyarakatnya. Ada ketimpangan antara berita dan fakta. Rekan kerja yang asal Semarang ‘kaget’, mendengar kabar ini. Bahwa kemudian Pemerintah merasa bertanggungjawab terhadap penanggulangan masalah kemiskinan ini, adalah persoalan lain.
Sedikit kelebihan materi yang dilimpahkan Allah SWT insyaallah saya syukuri. Kelebihan ini, sekali lagi jangan dibandingkan dengan ‘kaya’ istilah milik kaum The Have, bukan berarti membuat saya bisa membeli ini dan itu seenak hati saja. Yang namanya kasur misalnya, delapan tahun terakhir ini yang saya tempati adalah bekas milik Pak Hamzah, salah seorang pebisnis. Beliau sudah balik ke Tanah Air. Melihat kondisi kasur yang demikian, kata seorang teman, saya pelit!
Sore hari kemarin, bersama adik saya, si Imam, kami berangkat ke Second Hand Market. Cari kasur baru. Bukan karena saya sudah tidak lagi senang dengan kasur pak Hamzah. Namun karena bagian tengahnya sudah menipis, kadang membikin sakit punggung serta rasa tidak nyaman bagi yang tidur diatasnya. Meski di pasar barang bekas, jangan salah sangka! Disana banyak peralatan rumah tangga yang baru. Pasar tersebut selain dekat dengan tempat kediaman saya, konon harganya agak miring dibanding department stores.
Alhamdulillah saya dapatkan barangnya. Lebih murah! Itupun setelah melalui tawar-menawar yang cukup alot. Gimana nggak alot? Lha sang penjual tidak mau memberikan barangnya, biar hanya terpaut Rp 10 ribu. Kesimpulan saya, patokan harga ini kayaknya sudah mentok. Jadi ambil saja kasurnya. “Dasar pelit!” kata batin ini, berprasangka. Saya telah berhasil menawar harga hingga sekitar Rp 50 ribu dibawah harga jual rata-rata. Sebelum beli, saya sempat bertanya sama seorang teman yang baru saja membeli barang yang sama: “How much did you buy it?”. “Hundred and fifty dirhams!” jawabnya. Nah, saya bisa mendapatkannya Dhs.130. Untung kan?
Usai membeli kasur, saya ditawari sopir-sopir pick-up yang berderetan di depan toko-toko. Jarak antara pasar tersebut dan gedung tempat kami tinggal, sekitar 500 meter. Nggak jauh. Tapi ongkos ngangkut barang, bisa seperempat dari harga kasur. Kembali menimbang-nimbang. Saya bilang sama si Imam: “Kita gotong aja ya Mam, sambil jalan?” ajakku. Dia diam. Pertanda setuju? “Dasar pelit!” begitu lagi gumamku lagi, pada diri sendiri.
Jadi orang yang pemurah, layaknya Rasulullah Muhammad SAW, atau sahabat-sahabat beliau (SAW), Abu Bakar Sidik (R.A), Umar bin Khatab (R.A) bukan perkara gampang. Level mereka jauh diatas kita, orang-orang kebanyakan. Para sahabat akrab dengan kesulitan hidup, namun tidak pernah mengenyampingkan kebutuhan hidup orang lain, bahkan manakala penderitaan menjepit mereka sekalipun.
Banyak riwayat sahih yang mengisahkan, puteri Rasulullah SAW, Fatima (R.A.), hidupnya sarat dengan pekerjaan rumah, hingga kulit tangannya kasar serta melepuh. Pakaiannya kotor dan rusak karena memasak, menyapu, dan berbagai pekerjaan berat rumah lainnya. Beda dengan kita yang seringkali dimanjakan oleh keberadaan pembantu rumah tangga, beliau terbiasa memikul tas kulit berisi air dari sumur hingga suatu hari mengalami bercak-bercak kebiruan di punggung dan dada beliau.
Dalam suatu riwayat diceriterakan, Fatima (R.A) mendekati ayahnya (SAW), dan berkata: “Aba, saya mohon Aba bisa mengusahakan seseorang untuk membantuku dalam urusan pekerjaan rumah”. Mendengar keluhan demikian, sebagai seorang ayah, hati Rasulullah SAW luluh oleh belas kasih terhadap puterinya. Namun tugas dan tanggungjawab beliau SAW sebagai seorang ayah sekaligus seorang Rasul, mengalahkan cinta kasih ini. Beliau SAW menjawab dengan lemah lembut: “Puteriku. Anak-anak yatim yang ditinggal orangtua mereka akibat perang Badar, lebih berhak mendapatkan pertimbangan dari pada dirimu!”
Fatima (R.A.), puteri keempat Rasulullah SAW, acapkali meluangkan hari-hari bersama suami beliau Ali (R.A) tanpa makanan selama berhari-hari. Mereka tidak memiliki persediaan apa-apa untuk dimasak. Kedua suami istri ini menghabiskan hari-hari mereka dalam keadaan lapar. Ketika Rasulullah SAW suatu saat menemuinya, Fatima (R.A) tidak memiliki pakaian yang cukup layak untuk menutupi tubuhnya. Sesudah Beliau SAW memberikan sebagian dari kain yang dikenakannya, kemudian baru masuk rumah Fatima (R.A). Melihat keprihatinan yang sedemikian, kedua mata Rasulullah SAW yang suci, berlinang! “Puteri sayangku, apakah kamu tidak lebih suka disebut sebagai pemimpin dalam urusan kewanitaan di dunia ini?” Kata beliau SAW ‘menghibur’.
Pernah pula Fatima dan Ali (R.A) dalam bulan Ramadan, selama 3 hari berturut-turut, tanpa makanan sama sekali. Selama tiga hari tersebut, setiap harinya ada saja orang minta-minta. Padahal makanan hanya cukup pada hari itu. Makanan yang beliau masak, bukannya diberikan kepada buah hati, suami dan anak-anaknya, namun kepada pengemis. Subhanallah. Fatima (R.A), dibalik rintihan fisiknya, berjimbun kasih sayang besar terhadap sesamanya, melebihi prioritas pada keluarganya sendiri.
Rasullah SAW, kerabat dan para sahabat beliau, memiliki kepribadian yang begitu mulia. Mereka jauh sekali dari kata yang bagi kita akrab: pelit! Kebanyakan kita berpikir dua-tiga kali untuk memberikan sisa nasi kemarin, sekalipun kepada peminta-minta yang lalu-lalang di depan rumah kita. Acapkali pula kita menimbang-nimbang puluhan kali sebelum memberikan pakaian yang sudah penuh sesak memadati almari.
Kita memang pelit!
Akan tetapi ada orang-orang sekitar kita yang pandai berhemat. Bukannya pelit. Makanya, kita mestinya pandai-pandai membedakan, mana hemat dan mana pelit. Mau mengerjakan hal-hal yang mestinya bisa dilakukan sendiri tanpa memanfaatkan /menyuruh orang lain adalah sikap mulia. Umar Bin Khatab (R./A) biasa memikul sendiri jatah gandum yang diberikan kepada rakyatnya. Itu bukan berarti Umar (R.A) tidak mampu membayar orang lain guna melakukan hal yang sama. Apalagi dikatakan sebagai sosok yang pelit. Jauh dari sifat demikian! Suatu contoh sikap negarawan yang sulit dicari pada jaman sekarang ini. Padahal Umar (R.A) seorang pemimpin sebuah negeri, seorang Khalifah.
Siapa sih yang seneng dikatakan sebagai orang pelit? Betapapun benar kenyataannya, saya tetap tidak menyukai istilah tersebut. Rekan saya bilang, pelit itu artinya: kita memiliki, namun enggan memberi. Jadi, apa yang saya lakukan, mulai dari memanfaatkan kasur bekas, tawar-menawar kasur dengan pedagang, tidak menyewa pick up, hingga menggotong sendiri kasur tanpa menyuruh kuli, bukan bermaksud berpelit-pelit. Hanya karena tidak mau mengeluarkan duit untuk orang lain yang menawarkan jasa kepada kita, kan tidak harus berarti pelit? Bukankah meneladani apa yang diperbuat Rasulullah SAW, kerabat dan sahabatnya adalah semata-mata dalam upaya hemat serta tidak memanjakan diri?
Ringkasnya begini:
Memperhatikan pendapat orang lain itu baik, selagi hal tersebut dapat meningkatkan kualitas kehidupan kita sebagai manusia. Namun jangan kita paksakan diri untuk bisa menyesuaikan dengan pendapat orang banyak. Pendapat mayoritas, meskipun benar, belum tentu baik buat kita. Seorang sahabat dekat Rasulullah SAW ketika mendekati ajalnya, menolak dibelikan kain kafan baru sebagai pembungkus jasadnya kelak. Beliau mengatakan, mereka yang masih hidup lebih berhak memanfaatkannya untuk kebutuhan lain. Subhanallah!
Agar terhindar dari sebutan pelit, kita memang tidak perlu mengharap pemberian orang lain, apalagi barang bekas semacam kasur Pak Hamzah yang saya pakai. Kayaknya, separuh perabotan ruangan, saya dapat dari barang-barang bekas yang tidak dimanfaatkan oleh orang lain. Sementara sebagian dari kita mungkin saja menganggap keliru sikap yang demikian. Andaikan kurang baik, dimanakah letak kesalahan sikap tidak mau memanfaatkan sesuatu yang masih berguna ini bagi kedewasaan diri kita? Jika hal demikian dianggap salah, saya khawatir, kita akan besar dan dididik untuk jadi pemboros dan konsumtif.
Rasulullah SAW pernah mengajarkan membersihkan makanan yang sudah jatuh ke tanah, kemudian beliau SAW makan lagi. Lalat yang sudah hinggap di gelas, malah dicelupkan kedalamnya, sebelum beliau SAW keluarkan, sebelum diminum air di dalamnya. Sementara kita bagaimana? Maha suci Rasul Allah!
Ditengah-tengah naiknya BBM ini, sebenarnya kita bisa belajar banyak tentang bagaimana hidup hemat tanpa harus berpredikat sebagai orang pelit!
Materi boleh dikata lebih. Apalagi jika contohnya berkiblat pada orang-orang Semarang, yang konon lebih dari 20% masyarakatnya tahun ini miskin. Mereka, kaum duafa, jumlahnya sejak tahun 2001 meningkat terus. Padahal, koran-koran memberitakan Semarang termasuk yang berhasil dalam peningkatan sosial ekonomi masyarakatnya. Ada ketimpangan antara berita dan fakta. Rekan kerja yang asal Semarang ‘kaget’, mendengar kabar ini. Bahwa kemudian Pemerintah merasa bertanggungjawab terhadap penanggulangan masalah kemiskinan ini, adalah persoalan lain.
Sedikit kelebihan materi yang dilimpahkan Allah SWT insyaallah saya syukuri. Kelebihan ini, sekali lagi jangan dibandingkan dengan ‘kaya’ istilah milik kaum The Have, bukan berarti membuat saya bisa membeli ini dan itu seenak hati saja. Yang namanya kasur misalnya, delapan tahun terakhir ini yang saya tempati adalah bekas milik Pak Hamzah, salah seorang pebisnis. Beliau sudah balik ke Tanah Air. Melihat kondisi kasur yang demikian, kata seorang teman, saya pelit!
Sore hari kemarin, bersama adik saya, si Imam, kami berangkat ke Second Hand Market. Cari kasur baru. Bukan karena saya sudah tidak lagi senang dengan kasur pak Hamzah. Namun karena bagian tengahnya sudah menipis, kadang membikin sakit punggung serta rasa tidak nyaman bagi yang tidur diatasnya. Meski di pasar barang bekas, jangan salah sangka! Disana banyak peralatan rumah tangga yang baru. Pasar tersebut selain dekat dengan tempat kediaman saya, konon harganya agak miring dibanding department stores.
Alhamdulillah saya dapatkan barangnya. Lebih murah! Itupun setelah melalui tawar-menawar yang cukup alot. Gimana nggak alot? Lha sang penjual tidak mau memberikan barangnya, biar hanya terpaut Rp 10 ribu. Kesimpulan saya, patokan harga ini kayaknya sudah mentok. Jadi ambil saja kasurnya. “Dasar pelit!” kata batin ini, berprasangka. Saya telah berhasil menawar harga hingga sekitar Rp 50 ribu dibawah harga jual rata-rata. Sebelum beli, saya sempat bertanya sama seorang teman yang baru saja membeli barang yang sama: “How much did you buy it?”. “Hundred and fifty dirhams!” jawabnya. Nah, saya bisa mendapatkannya Dhs.130. Untung kan?
Usai membeli kasur, saya ditawari sopir-sopir pick-up yang berderetan di depan toko-toko. Jarak antara pasar tersebut dan gedung tempat kami tinggal, sekitar 500 meter. Nggak jauh. Tapi ongkos ngangkut barang, bisa seperempat dari harga kasur. Kembali menimbang-nimbang. Saya bilang sama si Imam: “Kita gotong aja ya Mam, sambil jalan?” ajakku. Dia diam. Pertanda setuju? “Dasar pelit!” begitu lagi gumamku lagi, pada diri sendiri.
Jadi orang yang pemurah, layaknya Rasulullah Muhammad SAW, atau sahabat-sahabat beliau (SAW), Abu Bakar Sidik (R.A), Umar bin Khatab (R.A) bukan perkara gampang. Level mereka jauh diatas kita, orang-orang kebanyakan. Para sahabat akrab dengan kesulitan hidup, namun tidak pernah mengenyampingkan kebutuhan hidup orang lain, bahkan manakala penderitaan menjepit mereka sekalipun.
Banyak riwayat sahih yang mengisahkan, puteri Rasulullah SAW, Fatima (R.A.), hidupnya sarat dengan pekerjaan rumah, hingga kulit tangannya kasar serta melepuh. Pakaiannya kotor dan rusak karena memasak, menyapu, dan berbagai pekerjaan berat rumah lainnya. Beda dengan kita yang seringkali dimanjakan oleh keberadaan pembantu rumah tangga, beliau terbiasa memikul tas kulit berisi air dari sumur hingga suatu hari mengalami bercak-bercak kebiruan di punggung dan dada beliau.
Dalam suatu riwayat diceriterakan, Fatima (R.A) mendekati ayahnya (SAW), dan berkata: “Aba, saya mohon Aba bisa mengusahakan seseorang untuk membantuku dalam urusan pekerjaan rumah”. Mendengar keluhan demikian, sebagai seorang ayah, hati Rasulullah SAW luluh oleh belas kasih terhadap puterinya. Namun tugas dan tanggungjawab beliau SAW sebagai seorang ayah sekaligus seorang Rasul, mengalahkan cinta kasih ini. Beliau SAW menjawab dengan lemah lembut: “Puteriku. Anak-anak yatim yang ditinggal orangtua mereka akibat perang Badar, lebih berhak mendapatkan pertimbangan dari pada dirimu!”
Fatima (R.A.), puteri keempat Rasulullah SAW, acapkali meluangkan hari-hari bersama suami beliau Ali (R.A) tanpa makanan selama berhari-hari. Mereka tidak memiliki persediaan apa-apa untuk dimasak. Kedua suami istri ini menghabiskan hari-hari mereka dalam keadaan lapar. Ketika Rasulullah SAW suatu saat menemuinya, Fatima (R.A) tidak memiliki pakaian yang cukup layak untuk menutupi tubuhnya. Sesudah Beliau SAW memberikan sebagian dari kain yang dikenakannya, kemudian baru masuk rumah Fatima (R.A). Melihat keprihatinan yang sedemikian, kedua mata Rasulullah SAW yang suci, berlinang! “Puteri sayangku, apakah kamu tidak lebih suka disebut sebagai pemimpin dalam urusan kewanitaan di dunia ini?” Kata beliau SAW ‘menghibur’.
Pernah pula Fatima dan Ali (R.A) dalam bulan Ramadan, selama 3 hari berturut-turut, tanpa makanan sama sekali. Selama tiga hari tersebut, setiap harinya ada saja orang minta-minta. Padahal makanan hanya cukup pada hari itu. Makanan yang beliau masak, bukannya diberikan kepada buah hati, suami dan anak-anaknya, namun kepada pengemis. Subhanallah. Fatima (R.A), dibalik rintihan fisiknya, berjimbun kasih sayang besar terhadap sesamanya, melebihi prioritas pada keluarganya sendiri.
Rasullah SAW, kerabat dan para sahabat beliau, memiliki kepribadian yang begitu mulia. Mereka jauh sekali dari kata yang bagi kita akrab: pelit! Kebanyakan kita berpikir dua-tiga kali untuk memberikan sisa nasi kemarin, sekalipun kepada peminta-minta yang lalu-lalang di depan rumah kita. Acapkali pula kita menimbang-nimbang puluhan kali sebelum memberikan pakaian yang sudah penuh sesak memadati almari.
Kita memang pelit!
Akan tetapi ada orang-orang sekitar kita yang pandai berhemat. Bukannya pelit. Makanya, kita mestinya pandai-pandai membedakan, mana hemat dan mana pelit. Mau mengerjakan hal-hal yang mestinya bisa dilakukan sendiri tanpa memanfaatkan /menyuruh orang lain adalah sikap mulia. Umar Bin Khatab (R./A) biasa memikul sendiri jatah gandum yang diberikan kepada rakyatnya. Itu bukan berarti Umar (R.A) tidak mampu membayar orang lain guna melakukan hal yang sama. Apalagi dikatakan sebagai sosok yang pelit. Jauh dari sifat demikian! Suatu contoh sikap negarawan yang sulit dicari pada jaman sekarang ini. Padahal Umar (R.A) seorang pemimpin sebuah negeri, seorang Khalifah.
Siapa sih yang seneng dikatakan sebagai orang pelit? Betapapun benar kenyataannya, saya tetap tidak menyukai istilah tersebut. Rekan saya bilang, pelit itu artinya: kita memiliki, namun enggan memberi. Jadi, apa yang saya lakukan, mulai dari memanfaatkan kasur bekas, tawar-menawar kasur dengan pedagang, tidak menyewa pick up, hingga menggotong sendiri kasur tanpa menyuruh kuli, bukan bermaksud berpelit-pelit. Hanya karena tidak mau mengeluarkan duit untuk orang lain yang menawarkan jasa kepada kita, kan tidak harus berarti pelit? Bukankah meneladani apa yang diperbuat Rasulullah SAW, kerabat dan sahabatnya adalah semata-mata dalam upaya hemat serta tidak memanjakan diri?
Ringkasnya begini:
Memperhatikan pendapat orang lain itu baik, selagi hal tersebut dapat meningkatkan kualitas kehidupan kita sebagai manusia. Namun jangan kita paksakan diri untuk bisa menyesuaikan dengan pendapat orang banyak. Pendapat mayoritas, meskipun benar, belum tentu baik buat kita. Seorang sahabat dekat Rasulullah SAW ketika mendekati ajalnya, menolak dibelikan kain kafan baru sebagai pembungkus jasadnya kelak. Beliau mengatakan, mereka yang masih hidup lebih berhak memanfaatkannya untuk kebutuhan lain. Subhanallah!
Agar terhindar dari sebutan pelit, kita memang tidak perlu mengharap pemberian orang lain, apalagi barang bekas semacam kasur Pak Hamzah yang saya pakai. Kayaknya, separuh perabotan ruangan, saya dapat dari barang-barang bekas yang tidak dimanfaatkan oleh orang lain. Sementara sebagian dari kita mungkin saja menganggap keliru sikap yang demikian. Andaikan kurang baik, dimanakah letak kesalahan sikap tidak mau memanfaatkan sesuatu yang masih berguna ini bagi kedewasaan diri kita? Jika hal demikian dianggap salah, saya khawatir, kita akan besar dan dididik untuk jadi pemboros dan konsumtif.
Rasulullah SAW pernah mengajarkan membersihkan makanan yang sudah jatuh ke tanah, kemudian beliau SAW makan lagi. Lalat yang sudah hinggap di gelas, malah dicelupkan kedalamnya, sebelum beliau SAW keluarkan, sebelum diminum air di dalamnya. Sementara kita bagaimana? Maha suci Rasul Allah!
Ditengah-tengah naiknya BBM ini, sebenarnya kita bisa belajar banyak tentang bagaimana hidup hemat tanpa harus berpredikat sebagai orang pelit!
NASIHAT UTK KHALIFAH
Ketika Hisyam bin Abdul Malik menjadi khalifah di zamannya, tersebutlah seorang tabi'in yang sangat termasyhur. Namanya Dzakwan bin Kisan yang sering dijuluki Thawus alias si Burung Merak.
Suatu hari Hisyam bin Abdul Malik datang ke Makkah untuk menunaikan haji. Saat memasuki Tanah Haram, dia berkata kepada para pemuka Makkah, "Carikan saya seorang sahabat Rasulullah SAW." Lalu para pemuka itu menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, para sahabat telah wafat susul-menyusul hingga tak satu pun dari mereka yang tersisa." Mendengar perkataan para pemuka Tanah Haram itu Hisyam bin Abdul Malik berkata lagi, "Kalau begitu carikan saya tabi'in."
Maka para pemuka Makkah memanggil Dzakwan bin Kisan.
Ketika menemui sang khalifah, Dzakwan bin Kisan membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut "Wahai Amirul Mukminin". Dzakwan bin Kisan hanya menyebut namanya saja tanpa sebutan kehormatan lainnya. Sesudah itu, ia langsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilakannya.
Hisyam sangat geram diperlakukan seperti itu, hal tersebut terlihat dari kerutan marah di wajahnya. Dia menganggap kelakuan si Burung Merak itu sudah keterlaluan dan kurang sopan. Apalagi peristiwa itu disaksikan oleh pengawal dan para pembantunya. Tapi sang khalifah sadar, ia tidak marah, karena ia sedang berada di Tanah Haram, Baitullah.
Dengan sabar sang khalifah bertanya kepada Dzakwan bin Kisan, "Mengapa Anda berbuat seperti itu wahai Dzakwan?"
Kemudian Dzakwan dengan enteng menjawab, "Lho, apa yang saya lakukan?"
Kemudian khalifah menjawab, "Anda melepas sepatu di tepi permadani saya. Anda tidak memberi salam kebesaran, hanya memanggil nama, lalu duduk sebelum saya persilakan," Mendengar kegundahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik, Dzakwan malah memberi nasihat dengan arif.
"Kalau soal melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Rabb yang Maha Esa. Maka hendaknya Anda tidak gusar karena itu. Kalau soal saya tidak memberi salam kehormatan, itu karena tidak seluruh kaum muslimin berbaiat kepada Anda. Oleh karena itu saya takut dikatakan pembohong apabila memanggil Anda sebagai Amirul Mukminin. Anda tidak rela saya menyebut nama Anda tanpa gelar kebesaran, padahal Allah SWT memanggil nabi-nabinya dengan nama mereka, "Wahai Daud..., Wahai Yahya..., Wahai Musa..., Wahai Isa..., Wahai Adam...". Sedangkan persoalan bahwa saya duduk sebelum dipersilakan, itu karena saya mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata," Apabila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah pada seseorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya berdiri." Nah, saya tidak suka melihat Anda masuk neraka," katanya dengan enteng.
Usai memberi nasihat Dzakwan bangkit dari duduknya, lalu pergi.
Suatu hari Hisyam bin Abdul Malik datang ke Makkah untuk menunaikan haji. Saat memasuki Tanah Haram, dia berkata kepada para pemuka Makkah, "Carikan saya seorang sahabat Rasulullah SAW." Lalu para pemuka itu menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, para sahabat telah wafat susul-menyusul hingga tak satu pun dari mereka yang tersisa." Mendengar perkataan para pemuka Tanah Haram itu Hisyam bin Abdul Malik berkata lagi, "Kalau begitu carikan saya tabi'in."
Maka para pemuka Makkah memanggil Dzakwan bin Kisan.
Ketika menemui sang khalifah, Dzakwan bin Kisan membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut "Wahai Amirul Mukminin". Dzakwan bin Kisan hanya menyebut namanya saja tanpa sebutan kehormatan lainnya. Sesudah itu, ia langsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilakannya.
Hisyam sangat geram diperlakukan seperti itu, hal tersebut terlihat dari kerutan marah di wajahnya. Dia menganggap kelakuan si Burung Merak itu sudah keterlaluan dan kurang sopan. Apalagi peristiwa itu disaksikan oleh pengawal dan para pembantunya. Tapi sang khalifah sadar, ia tidak marah, karena ia sedang berada di Tanah Haram, Baitullah.
Dengan sabar sang khalifah bertanya kepada Dzakwan bin Kisan, "Mengapa Anda berbuat seperti itu wahai Dzakwan?"
Kemudian Dzakwan dengan enteng menjawab, "Lho, apa yang saya lakukan?"
Kemudian khalifah menjawab, "Anda melepas sepatu di tepi permadani saya. Anda tidak memberi salam kebesaran, hanya memanggil nama, lalu duduk sebelum saya persilakan," Mendengar kegundahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik, Dzakwan malah memberi nasihat dengan arif.
"Kalau soal melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Rabb yang Maha Esa. Maka hendaknya Anda tidak gusar karena itu. Kalau soal saya tidak memberi salam kehormatan, itu karena tidak seluruh kaum muslimin berbaiat kepada Anda. Oleh karena itu saya takut dikatakan pembohong apabila memanggil Anda sebagai Amirul Mukminin. Anda tidak rela saya menyebut nama Anda tanpa gelar kebesaran, padahal Allah SWT memanggil nabi-nabinya dengan nama mereka, "Wahai Daud..., Wahai Yahya..., Wahai Musa..., Wahai Isa..., Wahai Adam...". Sedangkan persoalan bahwa saya duduk sebelum dipersilakan, itu karena saya mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata," Apabila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah pada seseorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya berdiri." Nah, saya tidak suka melihat Anda masuk neraka," katanya dengan enteng.
Usai memberi nasihat Dzakwan bangkit dari duduknya, lalu pergi.
NASIHAT IBRAHIM
Suatu ketika Ibrahim bin Adham, seorang alim yang terkenal zuhud dan wara'nya, melewati pasar yang ramai. Selang beberapa saat beliau pun dikerumuni banyak orang yang ingin minta nasehat. Salah seorang di antara mereka bertanya, "Wahai Guru! Allah telah berjanji dalam kitab-Nya bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya. Kami telah berdoa setiap hari, siang dan malam, tapi mengapa sampai saat ini doa kami tidak dikabulkan?"
Ibrahim bin Adham diam sejenak lalu berkata, "Saudara sekalian. Ada sepuluh hal yang menyebabkan doa kalian tidak dijawab oleh Allah. Pertama, kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-hak-Nya. Kedua, kalian membaca Al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya. Ketiga, kalian mengakui bahwa iblis adalah musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati kalian mengikuti jejak dan perintahnya. Keempat, kalian mengaku mencintai Rasulullah, tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan sunnahnya. Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga. Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka. Ketujuh, kalian mengaku bahwa kematian pasti datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekal untuk menghadapinya. Kedelapan, kalian sibuk mencari aib orang lain dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri. Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya. Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa."
Setelah mendengar nasehat itu, orang-orang itu menangis.
Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya. Ibrahim menjawab, "Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan, sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan saya selama hidup di dunia."
Ibrahim bin Adham diam sejenak lalu berkata, "Saudara sekalian. Ada sepuluh hal yang menyebabkan doa kalian tidak dijawab oleh Allah. Pertama, kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-hak-Nya. Kedua, kalian membaca Al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya. Ketiga, kalian mengakui bahwa iblis adalah musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati kalian mengikuti jejak dan perintahnya. Keempat, kalian mengaku mencintai Rasulullah, tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan sunnahnya. Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga. Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka. Ketujuh, kalian mengaku bahwa kematian pasti datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekal untuk menghadapinya. Kedelapan, kalian sibuk mencari aib orang lain dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri. Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya. Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa."
Setelah mendengar nasehat itu, orang-orang itu menangis.
Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya. Ibrahim menjawab, "Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan, sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan saya selama hidup di dunia."
MENIKAHI WANITA JELATA
Suatu hari seorang gubernur di zaman Khalifah al-Mahdi mengumpulkan sejumlah tetangganya dan menaburkan uang dinar di hadapan mereka. Semuanya saling berebutan memunguti uang itu, kecuali seorang wanita kumal, berkulit hitam dan berwajah buruk.
Dengan keheranan sang gubernur bertanya, “Mengapa engkau tidak ikut memunguti uang dinar itu seperti mereka?” Janda bermuka buruk itu menjawab, “Yang mereka cari uang dinar sebagai bekal dunia. Sedangkan yang saya butuhkan bekal akhirat.”
“Maksudmu?” tanya sang gubernur tertarik. “Yang masih saya perlukan adalah bekal akhirat, yaitu shalat, puasa, dan dzikir. Sebab perjalanan di dunia amat pendek dibanding pengembaraan di akhirat yang panjang.”
Dengan jawaban itu gubernur merasa disindir tajam. Ia insaf, dirinya selama ini hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya melimpah ruah. Sedangkan umurnya sudah di atas setengah abad, dan malaikat Izrail sudah mengintainya.
Akhirnya sang gubernur jatuh cinta dengan perempuan itu. Kabar itu tersebar ke segenap pelosok negeri. Orang-orang tak habir pikir, bagaimana gubernur bisa menaruh hati pada perempuan jelata yang buruk rupa. Suatu ketika, gubernur mengundang mereka dalam sebuah pesta mewah. Kepada mereka diberikan gelas kristal yang bertahtakan permata, berisi cairan anggur segar. Gubernur lantas memerintahkan agar membanting gelas masing-masing. Semuanya terbengong dan tak ada yang mau menuruti perintah itu. Namun, tiba-tiba terdengar bunyi berdenting, pertanda ada yang melaksanakan perintah itu. Itulah si perempuan buruk rupa. Di kakinya pecahan gelas berhamburan. Semua orang tampak terkejut.
“Mengapa kau banting gelas itu?” tanya sang gubernur. Tanpa takut wanita itu menjawab, “Ada beberapa sebab. Pertama, dengan memecahkan gelas ini berarti berkuranglah kekayaan tuan. Tetapi, menurut saya hal itu lebih baik daripada wibawa tuan berkurang lantaran perintah tuan tidak dipatuhi.”
Gubernur terkesima, para tamunya juga kagum akan jawaban yang masuk akal itu.
“Kedua, saya hanya menaati perintah Allah. Allah memerintahkan agar kita mematuhi Allah, utusan-Nya, dan para penguasa. Sedangkan tuan adalah penguasa. Dengan segala resikonya saya laksanakan perintah tuan.”
Gubernur kian takjub.
“Ketiga,” lanjut wanita itu, “Dengan memecah gelas itu, orang-orang akan menganggap saya gila. Namun itu lebih baik. Biarlah saya dicap gila daripada tidak melakukan perintah gubernurnya, yang berarti saya telah berbuat durhaka.”
Ketika gubernur menikahi wanita itu, semua yang mendengar sangat gembira. Gubernur memperoleh jodoh wanita yang tak saja taat pada suami, tetapi taat juga kepada gubernurnya, kepada utusan-Nya, dan kepada Tuhannya.
Dengan keheranan sang gubernur bertanya, “Mengapa engkau tidak ikut memunguti uang dinar itu seperti mereka?” Janda bermuka buruk itu menjawab, “Yang mereka cari uang dinar sebagai bekal dunia. Sedangkan yang saya butuhkan bekal akhirat.”
“Maksudmu?” tanya sang gubernur tertarik. “Yang masih saya perlukan adalah bekal akhirat, yaitu shalat, puasa, dan dzikir. Sebab perjalanan di dunia amat pendek dibanding pengembaraan di akhirat yang panjang.”
Dengan jawaban itu gubernur merasa disindir tajam. Ia insaf, dirinya selama ini hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya melimpah ruah. Sedangkan umurnya sudah di atas setengah abad, dan malaikat Izrail sudah mengintainya.
Akhirnya sang gubernur jatuh cinta dengan perempuan itu. Kabar itu tersebar ke segenap pelosok negeri. Orang-orang tak habir pikir, bagaimana gubernur bisa menaruh hati pada perempuan jelata yang buruk rupa. Suatu ketika, gubernur mengundang mereka dalam sebuah pesta mewah. Kepada mereka diberikan gelas kristal yang bertahtakan permata, berisi cairan anggur segar. Gubernur lantas memerintahkan agar membanting gelas masing-masing. Semuanya terbengong dan tak ada yang mau menuruti perintah itu. Namun, tiba-tiba terdengar bunyi berdenting, pertanda ada yang melaksanakan perintah itu. Itulah si perempuan buruk rupa. Di kakinya pecahan gelas berhamburan. Semua orang tampak terkejut.
“Mengapa kau banting gelas itu?” tanya sang gubernur. Tanpa takut wanita itu menjawab, “Ada beberapa sebab. Pertama, dengan memecahkan gelas ini berarti berkuranglah kekayaan tuan. Tetapi, menurut saya hal itu lebih baik daripada wibawa tuan berkurang lantaran perintah tuan tidak dipatuhi.”
Gubernur terkesima, para tamunya juga kagum akan jawaban yang masuk akal itu.
“Kedua, saya hanya menaati perintah Allah. Allah memerintahkan agar kita mematuhi Allah, utusan-Nya, dan para penguasa. Sedangkan tuan adalah penguasa. Dengan segala resikonya saya laksanakan perintah tuan.”
Gubernur kian takjub.
“Ketiga,” lanjut wanita itu, “Dengan memecah gelas itu, orang-orang akan menganggap saya gila. Namun itu lebih baik. Biarlah saya dicap gila daripada tidak melakukan perintah gubernurnya, yang berarti saya telah berbuat durhaka.”
Ketika gubernur menikahi wanita itu, semua yang mendengar sangat gembira. Gubernur memperoleh jodoh wanita yang tak saja taat pada suami, tetapi taat juga kepada gubernurnya, kepada utusan-Nya, dan kepada Tuhannya.
MENGHITUNG PEMBERIAN
“Anda beruntung, punya seorang ibu yang pandai memegang amanah. Ibuku? Berapa saja uang yang saya kirimkan, selalu habis! Iya kalau dimanfaatkan untuk beli sesuatu yang bisa dilihat, mungkin aku tidak begitu keberatan. Masalahnya, duit itu dibagi-bagikan sama anak-anaknya yang menurut saya cukup mampu. Kalau saya pulang, membawa sesuatu, dan saya simpan di almari, tahun depannya, ketika saya pulang lagi, barang-barang simpanan saya pasti sudah ludes! Alasannya, ibu tidak tahu, lupa, macam-macamlah alasannya, kemana barang-barang tersebut?”
“Padahal saya sudah susah payah mencari penghasilan di luar negeri. Jadi sekarang aku malas kalau beli sesuatu dan disimpan di rumah. Jangankan barang-barang elektronik. Pakaian pun, maksud saya, setiap saya pulang biar nggak harus beli dan beli lagi pakaian di Indonesia, juga ludes. Pernah suatu hari, sengaja saya tidak bawa pakaian dari luar negeri saat cuti dan pulang ke Indonesia, karena saya tahu saya punya beberapa potong pakaian yang tersimpan di lemari saya. Betapa terkejut ketika saya tidak menemukan satupun pakaian yang menggantung di dalamnya. Lebih jengkel lagi, kata Ibu, beliau nggak tahu siapa yang mengenakan pakaian-pakaian saya!”
“Bapak saya tidak terkecuali! Saya sempat marah, dan males mau menelepon lagi ke rumah dalam beberapa bulan terakhir ini. Gimana nggak marah? Lha masak, sapi hasil tabungan saya kerja di luar negeri yang jumlahnya enam ekor, lenyap begitu saja. Kalau saya tanya kemana sapi-sapi tersebut sekarang, beliau bilang sedang dirumat oleh si Fulan di kampung A. Saya semula percaya. Tapi begitu saya pulang, ternyata semuanya bohong. Dan saya tidak tahu untuk apa duit hasil penjualan sapi tersebut. Padahal, Bapak saya kerja mapan, dan punya penghasilan yang cukup dibanding kebanyakan orang-orang kampung di desa kami. Nggak tahulah! Sampai saya sempat su’udzon, saya tanyakan sama Ibu, apakah Bapak punya istri simpanan. Bayangkan coba! Merokok nggak. Main nggak! Peminum juga bukan! Lantas kemana duit yang selama ini saya kirimkan dibelanjakan?”
Begitu ceritera seorang rekan yang tengah jengkel kepada kedua orangtuanya yang telah membelanjakan habis duit tabungan yang cukup banyak, hasil jerih payahnya kerja di luar negeri. Saya cukup maklum akan kekecewaannya selama ini kepada kedua orangtuanya. Itu tidak berarti saya ‘men-support’ pendapatnya akan sikap kedua-orangtuanya. Saya lebih beruntung dalam satu aspek.
Saya bilang, mendiang Ibunda saya, walaupun orangnya tidak pernah ‘makan’ sekolah, tapi pinter mengatur keuangan. Saya tidak pernah menyangka kalau setiap bulan duit yang saya kirimkan ke rumah, ternyata sama beliau tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Pada akhirnya, ketika suatu hari ada orang yang menawarkan akan menjual rumahnya, Ibu bilang apakah saya tertarik. Saya jawab, untuk saat ini tidak bisa, karena saya lagi nggak punya duit. “Duit yang kamu kirimkan setiap bulan itu saya kumpulkan. Insyaallah hanya butuh tambahan sedikit untuk bisa membeli rumah tersebut!” Kata beliau lewat telepon beberapa tahun lalu, sebelum beliau wafat.
Sesudah beliau berpulang ke rahmatullah, saya seringkali mengenang kebaikan-kebaikan dan budi mulia beliau sebagai seorang ibu terhadap anaknya. Sementara, anak-anaknya seperti saya ini, belum sempat membalas kebaikan yang berarti bagi beliau. Berbeda umunya cinta anak terhadap orangtuanya yang sering kandas, kasih sayang ibu terhadap anak-anaknya tidak pernah terhenti.
Saya ceriterakan hal tersebut kepada rekan saya. Saya juga kemukakan bahwa beruntung dia masih memiliki orangtua lengkap. Keberadaan beliau di dunia yang masih sehat wal-afiat ini merupakan ladang amal. Betapapun ‘kelirunya’ kedua orangtuanya, usahakan jangan sampai menyakiti hati keduanya. Karena perbuatan baik kita terhadap keduanya, tidak akan seimbang dengan kasih sayang yang keduanya berikan kepada kita. Gayung yang saya lempar, bersambut.
Mendengar kata-kata yang demikian, rekan saya jadi diam. Agaknya berefleksi. Saya hampir menitikkan air mata, ketika esok harinya, teman saya bilang bahwa dia baru saja menelepon kedua orangtuanya, menanyakan tentang keadaan dan kesehatan beliau berdua.
Sebagai manusia, siapa sih yang tidak pernah sakit hati? Kepada orangtua sekalipun. Padahal Rasulullah SAW mengajarkan, jangan pernah bilang bahkan kata ‘cih’ kepada orangtua kita. Orangtua kita, juga manusia biasa, yang tidak lepas dari khilaf dan kesalahan. Akan tetapi, kesalahan dan kekhilafan mereka bukan berarti tidak bisa dikoreksi. Apalagi tingkatannya seperti yang dikatakan oleh rekan saya diatas, tidak sampai, misalnya melarang kita sholat atau hal lain yang bertentangan dengan Islam.
Bagi saya, kalaupun orangtua dia memanfaatkan duit, toh duit itu milik teman saya sendiri, bukan hak milik orang lain. Makanya, tidak ada yang perlu ‘disesalkan’. Bersikap demikian, mengikhlaskan, itu mulia, namun tidak mudah! Karena saya juga pernah mengalaminya.
Kita sebagai manusia, umumnya suka menghitung pemberian. Semakin banyak kita memberi, kalau kita tidak hati-hati, semakin sering kita menghitungnya. Kadang makin jengkel dibuatnya! Itu kecenderungannya! Sementara Allah SWT, Mahakaya! Semakin sering kita meminta dan mensyukuri pemberianNya, semakin dilipat-gandakan rejeki kita. Subhanallah! “Kamu ini setiap hari minta-minta ke sini, emangnya bank ya?” Begitu ejekan kita pada orang-orang peminta-minta.
Sebagaimana yang dinasehatkan Ibu, saya lakukan, menabung sebagian penghasilan saya. Kerja di luar negeri, memang lebih besar gajinya dibanding sebagian besar penghasilan rekan-rekan saya di Tanah Air. Saya ingin memiliki investasi yang kelak bisa dipergunakan apabila sudah kembali. Investasi yang paling baik waktu itu (mungkin juga sekarang?) adalah memiliki tanah. Dibanding dengan harta-harta lainnya, tanah beda sekali. Harganya akan terus menjanjikan. Dan itu menguntungkan. Dari pada disimpan di bank, yang bunganya haram dalam pandangan Islam, lebih bijak beli tanah.
Rencana berjalan mulus, hingga jumlah duit saya rasanya cukup untuk membeli sebidang tanah terkumpul. Tidak terlalu luas, tapi seandainya dimanfaatkan untuk mendirikan rumah, akan cukup.
Tanah pun saya beli, setelah konsulatsi dengan Ibu. Ibuku, idolaku. Wanita tua itu satu-satunya yang saya miliki, karena Ayah sudah ‘berpulang’ lebih dahulu. Yang saya kuatir sekali akan ketidak-tentraman hidupnya adalah apabila saya menyakiti hati atau tidak mematuhi nasehatnya. Saya ingin patuh pada beliau, supaya bisa berpredikat sebagai anak yang berbakti pada orangtuanya. Apakah berlebihan sikap yang demikian?
Akan tetapi pikiran saya berubah. Buat apa punya tanah banyak-banyak. Toh saya sudah membeli rumah. Dasar manusia, selalu kurang puas! Rasulullah SAW pernah bersabda, andainya pun manusia memiliki harta emas sebesar gunung Uhud, mereka masih ingin memiliki segunung itu lagi. Itulah yang saya sadari. Saya tidak ingin disebut sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah SAW: serakah!
Adik saya ada yang baru lulus kuliah. Sarjana Pendidikan gelarnya. Tapi cari kerja bukan main sulitnya. Saya mencoba menopang kehidupannya yang saya tahu butuh dukungan finansial. Setiap bulannya saya sisahkan sedikit bantuan untuknya. Saya katakan pada Ibu, tanah yang baru saya beli itu ingin saya berikan kepadanya. Siapa tahu kelak ada hikmahnya.
Saya tidak bermaksud sombong terhadap adik kandung sendiri. Tapi, jaman sekarang ini, beli tanah, bagi sebagian masyarakat Indonesia yang menurut statistik hampir 40% hidup dalam kemiskinan, sulit sekali. Bahkan mimpi bagi sementara orang. Saya akan berikan tanah tersebut dengan harapan dia akan bisa gunakan, siapa tahu ada rejeki dari Allah SWT, perlahan-lahan dapat mendirikan rumah. Sehingga tidak harus repot nyicil seperti guru-guru SD.
Ibuku menyambut gembira ide tersebut! Alhamdulillah! Belum genap satu bulan, sertifikat tanah sudah diserahkan Ibuku kepada adik. Betapa menyesalnya saya ketika belum juga tiga bulan berlalu kepemilikan tanah tersebut saya pindahkan di tangannya, ternyata sama dia dijual, jadi hak milik orang lain, tanpa sepengetahuan saya!
Saya tahu dan sadar sepenuhnya, bahwa tanah tersebut kini sudah jadi miliknya. Yang saya sesali adalah pemanfaatannya yang diluar dugaan saya sama sekali. Saya rasa banyak orang yang setuju dengan pola pikir saya. Apalagi nilai jualnya dibawah nilai beli. Saya marah!!!
Tapi untuk apa marah terhadap sesuatu yang sudah terjadi? Sekali lagi, kita memang bukan Tuhan. God gives and forgives, but man gets and forgets! Manusia seperti saya amat lemah. Padahal sejengkal tanah itu pada dasarnya kan bukan milik saya? Milik mutlak Yang Diatas Sana. Tanah itu sekedar lewat saya, sebelum saya berikan kepada adik saya. Allah SWT memiliki sejuta cara untuk menguji umatnya.
Tanah tersebut dijual oleh adik saya, karena dia ingin melunasi hutang-hutangnya yang saya tidak tahu berapa jumlahnya. Saya jadi mikir, apa artinya punya kekayaan jika ternyata hutang bertumpuk di belakang. Saya menyesal karena sempat memarahinya.
Manusia seperti saya, yang imannya naik turun, terlalu banyak perhitungan. Pemberian yang sedikit saja, sekalipun pada keluarga dekatnya sendiri, masuk dalam kalkulatornya. Padahal, jika kita menghitung pemberian Allah SWT, seumur hidup pun tidak akan selesai menghitung nikmatnya. Nikmat yang disyukuri, akan berlipat jumlahnya. Sebaliknya, semakin kita menghitung pemberian kita kepada sesama, semakin berkurang nilai amal kita.
Saya berlindung kepada Allah SWT dari ‘kejahatan’ berupa menghitung amal pemberian yang tidak lain adalah riya’ ini. Semoga adik saya memaafkan kesalahan abangnya.
“Padahal saya sudah susah payah mencari penghasilan di luar negeri. Jadi sekarang aku malas kalau beli sesuatu dan disimpan di rumah. Jangankan barang-barang elektronik. Pakaian pun, maksud saya, setiap saya pulang biar nggak harus beli dan beli lagi pakaian di Indonesia, juga ludes. Pernah suatu hari, sengaja saya tidak bawa pakaian dari luar negeri saat cuti dan pulang ke Indonesia, karena saya tahu saya punya beberapa potong pakaian yang tersimpan di lemari saya. Betapa terkejut ketika saya tidak menemukan satupun pakaian yang menggantung di dalamnya. Lebih jengkel lagi, kata Ibu, beliau nggak tahu siapa yang mengenakan pakaian-pakaian saya!”
“Bapak saya tidak terkecuali! Saya sempat marah, dan males mau menelepon lagi ke rumah dalam beberapa bulan terakhir ini. Gimana nggak marah? Lha masak, sapi hasil tabungan saya kerja di luar negeri yang jumlahnya enam ekor, lenyap begitu saja. Kalau saya tanya kemana sapi-sapi tersebut sekarang, beliau bilang sedang dirumat oleh si Fulan di kampung A. Saya semula percaya. Tapi begitu saya pulang, ternyata semuanya bohong. Dan saya tidak tahu untuk apa duit hasil penjualan sapi tersebut. Padahal, Bapak saya kerja mapan, dan punya penghasilan yang cukup dibanding kebanyakan orang-orang kampung di desa kami. Nggak tahulah! Sampai saya sempat su’udzon, saya tanyakan sama Ibu, apakah Bapak punya istri simpanan. Bayangkan coba! Merokok nggak. Main nggak! Peminum juga bukan! Lantas kemana duit yang selama ini saya kirimkan dibelanjakan?”
Begitu ceritera seorang rekan yang tengah jengkel kepada kedua orangtuanya yang telah membelanjakan habis duit tabungan yang cukup banyak, hasil jerih payahnya kerja di luar negeri. Saya cukup maklum akan kekecewaannya selama ini kepada kedua orangtuanya. Itu tidak berarti saya ‘men-support’ pendapatnya akan sikap kedua-orangtuanya. Saya lebih beruntung dalam satu aspek.
Saya bilang, mendiang Ibunda saya, walaupun orangnya tidak pernah ‘makan’ sekolah, tapi pinter mengatur keuangan. Saya tidak pernah menyangka kalau setiap bulan duit yang saya kirimkan ke rumah, ternyata sama beliau tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Pada akhirnya, ketika suatu hari ada orang yang menawarkan akan menjual rumahnya, Ibu bilang apakah saya tertarik. Saya jawab, untuk saat ini tidak bisa, karena saya lagi nggak punya duit. “Duit yang kamu kirimkan setiap bulan itu saya kumpulkan. Insyaallah hanya butuh tambahan sedikit untuk bisa membeli rumah tersebut!” Kata beliau lewat telepon beberapa tahun lalu, sebelum beliau wafat.
Sesudah beliau berpulang ke rahmatullah, saya seringkali mengenang kebaikan-kebaikan dan budi mulia beliau sebagai seorang ibu terhadap anaknya. Sementara, anak-anaknya seperti saya ini, belum sempat membalas kebaikan yang berarti bagi beliau. Berbeda umunya cinta anak terhadap orangtuanya yang sering kandas, kasih sayang ibu terhadap anak-anaknya tidak pernah terhenti.
Saya ceriterakan hal tersebut kepada rekan saya. Saya juga kemukakan bahwa beruntung dia masih memiliki orangtua lengkap. Keberadaan beliau di dunia yang masih sehat wal-afiat ini merupakan ladang amal. Betapapun ‘kelirunya’ kedua orangtuanya, usahakan jangan sampai menyakiti hati keduanya. Karena perbuatan baik kita terhadap keduanya, tidak akan seimbang dengan kasih sayang yang keduanya berikan kepada kita. Gayung yang saya lempar, bersambut.
Mendengar kata-kata yang demikian, rekan saya jadi diam. Agaknya berefleksi. Saya hampir menitikkan air mata, ketika esok harinya, teman saya bilang bahwa dia baru saja menelepon kedua orangtuanya, menanyakan tentang keadaan dan kesehatan beliau berdua.
Sebagai manusia, siapa sih yang tidak pernah sakit hati? Kepada orangtua sekalipun. Padahal Rasulullah SAW mengajarkan, jangan pernah bilang bahkan kata ‘cih’ kepada orangtua kita. Orangtua kita, juga manusia biasa, yang tidak lepas dari khilaf dan kesalahan. Akan tetapi, kesalahan dan kekhilafan mereka bukan berarti tidak bisa dikoreksi. Apalagi tingkatannya seperti yang dikatakan oleh rekan saya diatas, tidak sampai, misalnya melarang kita sholat atau hal lain yang bertentangan dengan Islam.
Bagi saya, kalaupun orangtua dia memanfaatkan duit, toh duit itu milik teman saya sendiri, bukan hak milik orang lain. Makanya, tidak ada yang perlu ‘disesalkan’. Bersikap demikian, mengikhlaskan, itu mulia, namun tidak mudah! Karena saya juga pernah mengalaminya.
Kita sebagai manusia, umumnya suka menghitung pemberian. Semakin banyak kita memberi, kalau kita tidak hati-hati, semakin sering kita menghitungnya. Kadang makin jengkel dibuatnya! Itu kecenderungannya! Sementara Allah SWT, Mahakaya! Semakin sering kita meminta dan mensyukuri pemberianNya, semakin dilipat-gandakan rejeki kita. Subhanallah! “Kamu ini setiap hari minta-minta ke sini, emangnya bank ya?” Begitu ejekan kita pada orang-orang peminta-minta.
Sebagaimana yang dinasehatkan Ibu, saya lakukan, menabung sebagian penghasilan saya. Kerja di luar negeri, memang lebih besar gajinya dibanding sebagian besar penghasilan rekan-rekan saya di Tanah Air. Saya ingin memiliki investasi yang kelak bisa dipergunakan apabila sudah kembali. Investasi yang paling baik waktu itu (mungkin juga sekarang?) adalah memiliki tanah. Dibanding dengan harta-harta lainnya, tanah beda sekali. Harganya akan terus menjanjikan. Dan itu menguntungkan. Dari pada disimpan di bank, yang bunganya haram dalam pandangan Islam, lebih bijak beli tanah.
Rencana berjalan mulus, hingga jumlah duit saya rasanya cukup untuk membeli sebidang tanah terkumpul. Tidak terlalu luas, tapi seandainya dimanfaatkan untuk mendirikan rumah, akan cukup.
Tanah pun saya beli, setelah konsulatsi dengan Ibu. Ibuku, idolaku. Wanita tua itu satu-satunya yang saya miliki, karena Ayah sudah ‘berpulang’ lebih dahulu. Yang saya kuatir sekali akan ketidak-tentraman hidupnya adalah apabila saya menyakiti hati atau tidak mematuhi nasehatnya. Saya ingin patuh pada beliau, supaya bisa berpredikat sebagai anak yang berbakti pada orangtuanya. Apakah berlebihan sikap yang demikian?
Akan tetapi pikiran saya berubah. Buat apa punya tanah banyak-banyak. Toh saya sudah membeli rumah. Dasar manusia, selalu kurang puas! Rasulullah SAW pernah bersabda, andainya pun manusia memiliki harta emas sebesar gunung Uhud, mereka masih ingin memiliki segunung itu lagi. Itulah yang saya sadari. Saya tidak ingin disebut sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah SAW: serakah!
Adik saya ada yang baru lulus kuliah. Sarjana Pendidikan gelarnya. Tapi cari kerja bukan main sulitnya. Saya mencoba menopang kehidupannya yang saya tahu butuh dukungan finansial. Setiap bulannya saya sisahkan sedikit bantuan untuknya. Saya katakan pada Ibu, tanah yang baru saya beli itu ingin saya berikan kepadanya. Siapa tahu kelak ada hikmahnya.
Saya tidak bermaksud sombong terhadap adik kandung sendiri. Tapi, jaman sekarang ini, beli tanah, bagi sebagian masyarakat Indonesia yang menurut statistik hampir 40% hidup dalam kemiskinan, sulit sekali. Bahkan mimpi bagi sementara orang. Saya akan berikan tanah tersebut dengan harapan dia akan bisa gunakan, siapa tahu ada rejeki dari Allah SWT, perlahan-lahan dapat mendirikan rumah. Sehingga tidak harus repot nyicil seperti guru-guru SD.
Ibuku menyambut gembira ide tersebut! Alhamdulillah! Belum genap satu bulan, sertifikat tanah sudah diserahkan Ibuku kepada adik. Betapa menyesalnya saya ketika belum juga tiga bulan berlalu kepemilikan tanah tersebut saya pindahkan di tangannya, ternyata sama dia dijual, jadi hak milik orang lain, tanpa sepengetahuan saya!
Saya tahu dan sadar sepenuhnya, bahwa tanah tersebut kini sudah jadi miliknya. Yang saya sesali adalah pemanfaatannya yang diluar dugaan saya sama sekali. Saya rasa banyak orang yang setuju dengan pola pikir saya. Apalagi nilai jualnya dibawah nilai beli. Saya marah!!!
Tapi untuk apa marah terhadap sesuatu yang sudah terjadi? Sekali lagi, kita memang bukan Tuhan. God gives and forgives, but man gets and forgets! Manusia seperti saya amat lemah. Padahal sejengkal tanah itu pada dasarnya kan bukan milik saya? Milik mutlak Yang Diatas Sana. Tanah itu sekedar lewat saya, sebelum saya berikan kepada adik saya. Allah SWT memiliki sejuta cara untuk menguji umatnya.
Tanah tersebut dijual oleh adik saya, karena dia ingin melunasi hutang-hutangnya yang saya tidak tahu berapa jumlahnya. Saya jadi mikir, apa artinya punya kekayaan jika ternyata hutang bertumpuk di belakang. Saya menyesal karena sempat memarahinya.
Manusia seperti saya, yang imannya naik turun, terlalu banyak perhitungan. Pemberian yang sedikit saja, sekalipun pada keluarga dekatnya sendiri, masuk dalam kalkulatornya. Padahal, jika kita menghitung pemberian Allah SWT, seumur hidup pun tidak akan selesai menghitung nikmatnya. Nikmat yang disyukuri, akan berlipat jumlahnya. Sebaliknya, semakin kita menghitung pemberian kita kepada sesama, semakin berkurang nilai amal kita.
Saya berlindung kepada Allah SWT dari ‘kejahatan’ berupa menghitung amal pemberian yang tidak lain adalah riya’ ini. Semoga adik saya memaafkan kesalahan abangnya.
MENEGAKKAN KEADILAN
Suatu waktu Pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab mengumumkan pembagian kain baju dari negara kepada seluruh kaum Muslimin. Pembagian ditetapkan harus adil dan sama rata. Tidak ada bedanya jatah untuk kepala negara, pejabat negara, atau rakyat biasa. Pembagian baju dinyatakan selesai.
Seluruh warga mendapatkan bagiannya sama rata, tak terkecuali Umar bin Khathab. Namun, sang kepala negara tampak memakai baju yang besar karena badannya besar. Dan, orang-orang mengetahuinya karena pembagian dilaksanakan secara terang-terangan. Ketika Umar berkhutbah memberi semangat kepada kaum Muslimin untuk berjihad dan menjelaskan keutamaannya dengan mengatakan 'Dengarlah dan taatilah perkataanku ini ...' tak ada suara gemuruh mendukung khutbahnya.
Malah secara bergantian terdengar suara cukup nyaring, 'Tidak ada perhatian dan tidak pula ketaatan. Tidak ada tentara yang maju dengan senjata-senjatanya di medan pertempuran!' Umar terheran-heran mendapati suasana yang berbeda dari biasanya itu. Lalu ia bertanya, 'Mengapa sikap kalian berubah?'
Kemudian seseorang berkata dengan nada tinggi, 'Engkau mengambil kain sebagaimana yang kami ambil, tapi bagaimana kain itu pas bagimu sedangkan engkau laki-laki berbadan tinggi besar? Pasti ada sesuatu yang engkau khususkan untuk dirimu sendiri!' Mendengar pernyataan itu, Umar lalu memanggil putranya, Abdullah bin Umar.
Putranya itu diminta menjadi saksi dan mengumumkan kepada khalayak apa yang sebenarnya terjadi. Abdullah bin Umar pun bersaksi bahwa ia memberikan bagiannya kepada ayahnya sehingga ayahnya dapat memakai pakaian yang menutup auratnya, sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi bersar. Orang yang berbicara lantang tadi pun duduk dan berkata, 'Sekarang kami mendengar dan kami taat.' Sikap ini kemudian diikuti oleh segenap hadirin.
Subhanallah, betapa indah hubungan antara kepala negara dan rakyatnya. Kepala negara merasa tidak harus dilebihkan dari rakyatnya dan bebas ditegur, direformasi oleh warganya. Dalam artian, kepala negara ingin dimiliki dan berbuat untuk rakyat. Begitu pula, sistem pemerintahannya memandang semua warga sama dalam hak dan kewajiban.
Itulah seharusnya sikap seorang kepala negara. Ia tidak takut memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri. Begitu pula keluarganya yang tidak menggunakan posisi itu untuk memperkaya diri.
Mungkin kehidupan bernegara seperti di atas sulit didapatkan saat ini, apalagi di negara kita, di mana korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah membudaya di setiap lini pemerintahan. Namun, semua itu bukannya mustahil diubah atau direformasi. Segalanya tergantung pada keseriusan dan kegigihan kita bersama. Masalahnya kita mau atau tidak.
Seluruh warga mendapatkan bagiannya sama rata, tak terkecuali Umar bin Khathab. Namun, sang kepala negara tampak memakai baju yang besar karena badannya besar. Dan, orang-orang mengetahuinya karena pembagian dilaksanakan secara terang-terangan. Ketika Umar berkhutbah memberi semangat kepada kaum Muslimin untuk berjihad dan menjelaskan keutamaannya dengan mengatakan 'Dengarlah dan taatilah perkataanku ini ...' tak ada suara gemuruh mendukung khutbahnya.
Malah secara bergantian terdengar suara cukup nyaring, 'Tidak ada perhatian dan tidak pula ketaatan. Tidak ada tentara yang maju dengan senjata-senjatanya di medan pertempuran!' Umar terheran-heran mendapati suasana yang berbeda dari biasanya itu. Lalu ia bertanya, 'Mengapa sikap kalian berubah?'
Kemudian seseorang berkata dengan nada tinggi, 'Engkau mengambil kain sebagaimana yang kami ambil, tapi bagaimana kain itu pas bagimu sedangkan engkau laki-laki berbadan tinggi besar? Pasti ada sesuatu yang engkau khususkan untuk dirimu sendiri!' Mendengar pernyataan itu, Umar lalu memanggil putranya, Abdullah bin Umar.
Putranya itu diminta menjadi saksi dan mengumumkan kepada khalayak apa yang sebenarnya terjadi. Abdullah bin Umar pun bersaksi bahwa ia memberikan bagiannya kepada ayahnya sehingga ayahnya dapat memakai pakaian yang menutup auratnya, sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi bersar. Orang yang berbicara lantang tadi pun duduk dan berkata, 'Sekarang kami mendengar dan kami taat.' Sikap ini kemudian diikuti oleh segenap hadirin.
Subhanallah, betapa indah hubungan antara kepala negara dan rakyatnya. Kepala negara merasa tidak harus dilebihkan dari rakyatnya dan bebas ditegur, direformasi oleh warganya. Dalam artian, kepala negara ingin dimiliki dan berbuat untuk rakyat. Begitu pula, sistem pemerintahannya memandang semua warga sama dalam hak dan kewajiban.
Itulah seharusnya sikap seorang kepala negara. Ia tidak takut memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri. Begitu pula keluarganya yang tidak menggunakan posisi itu untuk memperkaya diri.
Mungkin kehidupan bernegara seperti di atas sulit didapatkan saat ini, apalagi di negara kita, di mana korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah membudaya di setiap lini pemerintahan. Namun, semua itu bukannya mustahil diubah atau direformasi. Segalanya tergantung pada keseriusan dan kegigihan kita bersama. Masalahnya kita mau atau tidak.
Langganan:
Postingan (Atom)