Kaya? Nggak juga! Alhamdulillah cukup materi, tidak berlebihan. Begitulah keadaan saya, saat berkaca pada diri sendiri. Saya katakan berkaca pada diri sendiri, karena nggak mungkin status sosial ekonomi diri ini disejajarkan dengan para anggota DPR, terlebih Wakil Presiden.
Materi boleh dikata lebih. Apalagi jika contohnya berkiblat pada orang-orang Semarang, yang konon lebih dari 20% masyarakatnya tahun ini miskin. Mereka, kaum duafa, jumlahnya sejak tahun 2001 meningkat terus. Padahal, koran-koran memberitakan Semarang termasuk yang berhasil dalam peningkatan sosial ekonomi masyarakatnya. Ada ketimpangan antara berita dan fakta. Rekan kerja yang asal Semarang ‘kaget’, mendengar kabar ini. Bahwa kemudian Pemerintah merasa bertanggungjawab terhadap penanggulangan masalah kemiskinan ini, adalah persoalan lain.
Sedikit kelebihan materi yang dilimpahkan Allah SWT insyaallah saya syukuri. Kelebihan ini, sekali lagi jangan dibandingkan dengan ‘kaya’ istilah milik kaum The Have, bukan berarti membuat saya bisa membeli ini dan itu seenak hati saja. Yang namanya kasur misalnya, delapan tahun terakhir ini yang saya tempati adalah bekas milik Pak Hamzah, salah seorang pebisnis. Beliau sudah balik ke Tanah Air. Melihat kondisi kasur yang demikian, kata seorang teman, saya pelit!
Sore hari kemarin, bersama adik saya, si Imam, kami berangkat ke Second Hand Market. Cari kasur baru. Bukan karena saya sudah tidak lagi senang dengan kasur pak Hamzah. Namun karena bagian tengahnya sudah menipis, kadang membikin sakit punggung serta rasa tidak nyaman bagi yang tidur diatasnya. Meski di pasar barang bekas, jangan salah sangka! Disana banyak peralatan rumah tangga yang baru. Pasar tersebut selain dekat dengan tempat kediaman saya, konon harganya agak miring dibanding department stores.
Alhamdulillah saya dapatkan barangnya. Lebih murah! Itupun setelah melalui tawar-menawar yang cukup alot. Gimana nggak alot? Lha sang penjual tidak mau memberikan barangnya, biar hanya terpaut Rp 10 ribu. Kesimpulan saya, patokan harga ini kayaknya sudah mentok. Jadi ambil saja kasurnya. “Dasar pelit!” kata batin ini, berprasangka. Saya telah berhasil menawar harga hingga sekitar Rp 50 ribu dibawah harga jual rata-rata. Sebelum beli, saya sempat bertanya sama seorang teman yang baru saja membeli barang yang sama: “How much did you buy it?”. “Hundred and fifty dirhams!” jawabnya. Nah, saya bisa mendapatkannya Dhs.130. Untung kan?
Usai membeli kasur, saya ditawari sopir-sopir pick-up yang berderetan di depan toko-toko. Jarak antara pasar tersebut dan gedung tempat kami tinggal, sekitar 500 meter. Nggak jauh. Tapi ongkos ngangkut barang, bisa seperempat dari harga kasur. Kembali menimbang-nimbang. Saya bilang sama si Imam: “Kita gotong aja ya Mam, sambil jalan?” ajakku. Dia diam. Pertanda setuju? “Dasar pelit!” begitu lagi gumamku lagi, pada diri sendiri.
Jadi orang yang pemurah, layaknya Rasulullah Muhammad SAW, atau sahabat-sahabat beliau (SAW), Abu Bakar Sidik (R.A), Umar bin Khatab (R.A) bukan perkara gampang. Level mereka jauh diatas kita, orang-orang kebanyakan. Para sahabat akrab dengan kesulitan hidup, namun tidak pernah mengenyampingkan kebutuhan hidup orang lain, bahkan manakala penderitaan menjepit mereka sekalipun.
Banyak riwayat sahih yang mengisahkan, puteri Rasulullah SAW, Fatima (R.A.), hidupnya sarat dengan pekerjaan rumah, hingga kulit tangannya kasar serta melepuh. Pakaiannya kotor dan rusak karena memasak, menyapu, dan berbagai pekerjaan berat rumah lainnya. Beda dengan kita yang seringkali dimanjakan oleh keberadaan pembantu rumah tangga, beliau terbiasa memikul tas kulit berisi air dari sumur hingga suatu hari mengalami bercak-bercak kebiruan di punggung dan dada beliau.
Dalam suatu riwayat diceriterakan, Fatima (R.A) mendekati ayahnya (SAW), dan berkata: “Aba, saya mohon Aba bisa mengusahakan seseorang untuk membantuku dalam urusan pekerjaan rumah”. Mendengar keluhan demikian, sebagai seorang ayah, hati Rasulullah SAW luluh oleh belas kasih terhadap puterinya. Namun tugas dan tanggungjawab beliau SAW sebagai seorang ayah sekaligus seorang Rasul, mengalahkan cinta kasih ini. Beliau SAW menjawab dengan lemah lembut: “Puteriku. Anak-anak yatim yang ditinggal orangtua mereka akibat perang Badar, lebih berhak mendapatkan pertimbangan dari pada dirimu!”
Fatima (R.A.), puteri keempat Rasulullah SAW, acapkali meluangkan hari-hari bersama suami beliau Ali (R.A) tanpa makanan selama berhari-hari. Mereka tidak memiliki persediaan apa-apa untuk dimasak. Kedua suami istri ini menghabiskan hari-hari mereka dalam keadaan lapar. Ketika Rasulullah SAW suatu saat menemuinya, Fatima (R.A) tidak memiliki pakaian yang cukup layak untuk menutupi tubuhnya. Sesudah Beliau SAW memberikan sebagian dari kain yang dikenakannya, kemudian baru masuk rumah Fatima (R.A). Melihat keprihatinan yang sedemikian, kedua mata Rasulullah SAW yang suci, berlinang! “Puteri sayangku, apakah kamu tidak lebih suka disebut sebagai pemimpin dalam urusan kewanitaan di dunia ini?” Kata beliau SAW ‘menghibur’.
Pernah pula Fatima dan Ali (R.A) dalam bulan Ramadan, selama 3 hari berturut-turut, tanpa makanan sama sekali. Selama tiga hari tersebut, setiap harinya ada saja orang minta-minta. Padahal makanan hanya cukup pada hari itu. Makanan yang beliau masak, bukannya diberikan kepada buah hati, suami dan anak-anaknya, namun kepada pengemis. Subhanallah. Fatima (R.A), dibalik rintihan fisiknya, berjimbun kasih sayang besar terhadap sesamanya, melebihi prioritas pada keluarganya sendiri.
Rasullah SAW, kerabat dan para sahabat beliau, memiliki kepribadian yang begitu mulia. Mereka jauh sekali dari kata yang bagi kita akrab: pelit! Kebanyakan kita berpikir dua-tiga kali untuk memberikan sisa nasi kemarin, sekalipun kepada peminta-minta yang lalu-lalang di depan rumah kita. Acapkali pula kita menimbang-nimbang puluhan kali sebelum memberikan pakaian yang sudah penuh sesak memadati almari.
Kita memang pelit!
Akan tetapi ada orang-orang sekitar kita yang pandai berhemat. Bukannya pelit. Makanya, kita mestinya pandai-pandai membedakan, mana hemat dan mana pelit. Mau mengerjakan hal-hal yang mestinya bisa dilakukan sendiri tanpa memanfaatkan /menyuruh orang lain adalah sikap mulia. Umar Bin Khatab (R./A) biasa memikul sendiri jatah gandum yang diberikan kepada rakyatnya. Itu bukan berarti Umar (R.A) tidak mampu membayar orang lain guna melakukan hal yang sama. Apalagi dikatakan sebagai sosok yang pelit. Jauh dari sifat demikian! Suatu contoh sikap negarawan yang sulit dicari pada jaman sekarang ini. Padahal Umar (R.A) seorang pemimpin sebuah negeri, seorang Khalifah.
Siapa sih yang seneng dikatakan sebagai orang pelit? Betapapun benar kenyataannya, saya tetap tidak menyukai istilah tersebut. Rekan saya bilang, pelit itu artinya: kita memiliki, namun enggan memberi. Jadi, apa yang saya lakukan, mulai dari memanfaatkan kasur bekas, tawar-menawar kasur dengan pedagang, tidak menyewa pick up, hingga menggotong sendiri kasur tanpa menyuruh kuli, bukan bermaksud berpelit-pelit. Hanya karena tidak mau mengeluarkan duit untuk orang lain yang menawarkan jasa kepada kita, kan tidak harus berarti pelit? Bukankah meneladani apa yang diperbuat Rasulullah SAW, kerabat dan sahabatnya adalah semata-mata dalam upaya hemat serta tidak memanjakan diri?
Ringkasnya begini:
Memperhatikan pendapat orang lain itu baik, selagi hal tersebut dapat meningkatkan kualitas kehidupan kita sebagai manusia. Namun jangan kita paksakan diri untuk bisa menyesuaikan dengan pendapat orang banyak. Pendapat mayoritas, meskipun benar, belum tentu baik buat kita. Seorang sahabat dekat Rasulullah SAW ketika mendekati ajalnya, menolak dibelikan kain kafan baru sebagai pembungkus jasadnya kelak. Beliau mengatakan, mereka yang masih hidup lebih berhak memanfaatkannya untuk kebutuhan lain. Subhanallah!
Agar terhindar dari sebutan pelit, kita memang tidak perlu mengharap pemberian orang lain, apalagi barang bekas semacam kasur Pak Hamzah yang saya pakai. Kayaknya, separuh perabotan ruangan, saya dapat dari barang-barang bekas yang tidak dimanfaatkan oleh orang lain. Sementara sebagian dari kita mungkin saja menganggap keliru sikap yang demikian. Andaikan kurang baik, dimanakah letak kesalahan sikap tidak mau memanfaatkan sesuatu yang masih berguna ini bagi kedewasaan diri kita? Jika hal demikian dianggap salah, saya khawatir, kita akan besar dan dididik untuk jadi pemboros dan konsumtif.
Rasulullah SAW pernah mengajarkan membersihkan makanan yang sudah jatuh ke tanah, kemudian beliau SAW makan lagi. Lalat yang sudah hinggap di gelas, malah dicelupkan kedalamnya, sebelum beliau SAW keluarkan, sebelum diminum air di dalamnya. Sementara kita bagaimana? Maha suci Rasul Allah!
Ditengah-tengah naiknya BBM ini, sebenarnya kita bisa belajar banyak tentang bagaimana hidup hemat tanpa harus berpredikat sebagai orang pelit!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar