Adalah Ali Syaqiq bin Ibrahim Al Azdi yang hidup di daerah Balkh pada kurun abad 8 M. Selain berdagang, ia menekuni tasauf dan ikut berperang di medan jihad.
Suatu waktu ia menunaikan ibadah haji ke Makkah. Dalam perjalanannya menuju Ka'bah itu ia singgah di Baghdad yang saat itu dipimpin oleh khalifah Harun Al-Rasyid. Mendengar keberadaan Syaqiq yang memang terkenal dengan kefaqihannya di Baghdad, Harun Al-Rasyid memanggilnya ke istana.
"Wahai Syaqiq, berilah aku nasihat!" sambutnya setelah Syaqiq tiba di hadapan.
"Jika demikian, maka dengarkanlah wahai Khalifah," Syaqiq mulai angkat bicara, "Allah yang Maha Besar telah memberimu kedudukan Abu Bakar dan Dia menghendaki kesetiaan darimu. Allah memberikan kedudukan Umar yang dapat membedakan kebenaran dengan kepalsuan, maka Ia menghendaki hal yang sama darimu. Allah telah memberi kedudukan Utsman yang memiliki kesederhanaan dan kemuliaan. Ia juga menghendaki engkau bersikap sederhana dan mulia. Allah telah memberikan kedudukan Ali yang diberkahi-Nya dengan kebijaksanaan dan sikap adil, maka bijaksana dan adillah."
Khalifah tampak sungguh-sungguh mendengarkan uraian Syaqiq, "Lanjutkan," pinta Harun kemudian.
"Allah mempunyai tempat yang diberi nama neraka," kata Syaqiq, "Ia mengangkatmu menjadi penjaganya dan mempersenjataimu dengan tiga hal: kekayaan, pedang, dan cemeti untuk mengusir manusia dari neraka. Jika ada yang datang meminta pertolonganmu, janganlah bersikap kikir. Jika ada yang menentang perintah Allah, perbaikilah dirinya dengan cemeti, dan jika ada yang membunuh saudaranya, tuntutlah pembalasan yang adil dengan pedang itu."
"Tambah lagi," desak Harun.
"Engkau adalah sebuah telaga dan anak buahmu adalah anak-anak sungainya. Apabila telaga itu airnya bening, niscaya tidak akan keruh anak-anak sungai itu. namun apabila telaga itu keruh, bagaimana mungkin anak-anak sungai akan bening?"
"Teruskan!" seru Harun penasaran.
"Seandainya engkau hampir mati kehausan di tengah padang pasir dan pada saat itu ada seseorang menawarkan segelas air, berapakah harga yang berani engkau bayar untuk mendapatkan air itu?"
"Aku akan memberikan setengah dari kerajaanku," jawab sang khalifah dengan mantap.
"Kemudian andaikan pula air yang telah engkau minum itu tidak dapat keluar dari tubuhmu sehingga engkau terancam binasa," kata Syaqiq, "Maukah engkau menyerahkan kerajaanmu yang separuhnya lagi untuk mendapatkan kesembuhan?"
"Akan kuterima tawaran itu," tegas Harun.
"Maka mengapa engkau membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya segelas air yang engkau minum lantas engkau keluarkan lagi?"
Demi mendengar itu, Harun pun menangis. Tak lama kemudian, ia melepas kepergian Syaqiq dengan penuh kehormatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar